Di Sumatera Selatan kantor polisi diserbu tentara, di Yogyakarta militer menyerbu penjara dan membunuh tahanan. Karena pemimpin kita seorang peragu?
Revolusi Perancis meletus pada 1789, ketika negeri itu diperintah Louis XVI. Padahal para ahli sejarah mencatat raja ini bukanlah yang paling lalim dibanding raja-raja sebelumnya. Tapi itulah, dibanding Louis XV, kakeknya yang digantikannya, Louis XVI adalah seorang peragu (indecisiveness).
Sikap peragu itu menyebabkan rakyat Perancis yang terpuruk karena negaranya ditimpa krisis utang dan keuangan melihat bahwa raja inilah bersama istrinya, Maria Antoinette, sumber segala bencana. Maka kerusuhan rakyat pun meletus di Paris, benteng Bastille diserbu, dan revolusi Perancis yang terkenal itu dimulai.
Di ujung cerita raja ini harus mengakhiri hidupnya di bawah tebasan pisau guillotine, Januari 1793. Tragis. Padahal raja inilah yang berjasa memperbaiki hubungan antar-agama sehingga orang-orang Kristen bisa hidup di negara Katolik itu.
Soal sikap peragu, agaknya Louis XVI sama dengan Presiden SBY. Purnawirawan berbintang empat itu sejak muda dikenal di kalangan temannya sebagai seorang yang cerdas, fasih berbahasa Inggris, tapi selalu ragu dalam bertindak. Terutama untuk tindakan yang potensial berisiko tinggi.
Karena sikap peragunya itulah gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) beberapa waktu lalu sempat dikepung polisi. Sampai sekarang hubungan institusi kepolisian dengan KPK tetap meruncing untuk kemudian suatu saat akan meledak.
Selain peragu, Presiden SBY terkenal suka mengejar populeritas. Dalam perseteruan polisi – KPK tadi, misalnya, Presiden hanya mengejar popularitas dirinya, tanpa menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Untuk itulah ia berpihak ke KPK sekaligus memojokkan polisi.
Dengan Presiden yang peragu ini maka pemberantasan korupsi di Indonesia pun berlangsung tak karuan. Bukti kekonyolan itu bisa dilihat bagaimana korupsi di Indonesia terus merajalela dan menempati peringkat di atas100 dunia. Peringkat negara tetangga kita seperti Malaysia dan Filipina jauh lebih baik. Apalagi Singapore, tetangga yang tergolong salah satu negara paling bersih dari korupsi di dunia bersama beberapa negara Skandinavia.
Padahal dulu Presiden SBY berjanji di hadapan rakyat bahwa dia akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. Sampai sekarang janji itu belum juga dipenuhi. Bahkan SBY sendiri tampaknya sudah melupakan janji yang ia ucapkan sendiri di hadapan rakyat itu.
Tapi begitulah SBY. Suatu kali dia bicara secara terbuka agar para Menteri fokus bekerja untuk rakyat, jangan hanya sibuk mengurusi partai menjelang pemilihan umum ini. Tapi kemarin, 30 Maret 2013, seluruh rakyat bisa menyaksikan sendiri betapa Presiden SBY bersedia diangkat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum, melalui Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Bali, 30-31 Maret 2013.
Dengan itu seluruh jabatan penting partai itu sekarang berada di tangannya: Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan, dan kini Ketua Umum. Yang pasti, kita akan menyaksikan betapa jabatan Presiden dan Ketua Umum Partai Demokrat sulit dibedakan di tangan SBY.
Juga fasilitas jabatan Presiden yang dibiayai rakyat akan berhimpitan dengan fasilitas Ketua Umum Partai. Begitu pula 2 menteri yang diangkat SBY menjadi Pengurus Harian Partai Demokrat. Rupanya terlalu besar harapan para pengurus daerah partai itu bahwa perolehan suara dalam Pemilu 2014 akan meningkat bila SBY dan para menterinya memimpin partai itu. Padahal satu hal yang pasti di hadapan rakyat: ucapan dan tindakan Presiden SBY sebagai pemimpin saling bertolak belakang.
Omong Kosong Pemberantasan Korupsi
Para pemimpin Partai Demokrat lupa bahwa partai mereka dan SBY amat populer dalam Pemilu 2009 karena isu korupsi. Ketika itu rakyat percaya bahwa SBY dan partai yang dipimpinnya akan membersihkan korupsi dari bumi Indonesia. Soalnya, pada waktu itu SBY selalu bicara bahwa ia akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.
Kemudian partai itu pun muncul dalam iklan gencar yang bertema pemberantasan korupsi. Anda tentu masih ingat, yang ditampilkan sebagai bintang iklan ketika itu adalah Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum.
Sekarang rakyat sudah tahu janji Presiden SBY untuk memberantas korupsi itu adalah omong kosong belaka. Untuk itu SBY harus bertanggungjawab. Lalu, iklan anti-korupsi itu kini justru menjadi serangan balik untuk Partai Demokrat.
Betapa tidak? Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat dan anggota DPR, yang di dalam iklan berteriak-teriak bilang ‘’tidak’’ pada korupsi, sekarang berada dalam penjara justru karena terlibat korupsi. Sedang Anas Urbaningrum, bintang iklan lainnya dan Ketua Umum Partai Demokrat, kini sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang oleh KPK. Anas kemudian membongkar bahwa sebagian dana Hambalang juga mengalir ke putra SBY, Ibas dan beberapa tokoh lainnya.
Bagaimana mungkin rakyat bisa berharap Presiden SBY akan memimpin sendiri pemberantasn korupsi di Indonesia, kalau kasus korupsi Bank Century mulai menyenggol namanya? Kasus Bank Century tak kepalang tanggung, telah merugikan negara Rp 6,7 trilyun.
Ketika peristiwa itu terjadi, Wakil Presiden Budiono menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). Melalui perkenannyalah, antara lain, rupiah mengalir sampai trilyunan rupiah dari BI yang dipimpinnya ke bank kecil dan sakit itu. Dari sana dana itu bocor ke mana-mana. Antara lain, disebutkan untuk kampanye Pemilu 2009.
Yang pasti, dalam Pemilu lalu secara mencengangkan SBY menunjuk Budiono sebagai calon Wakil Presiden. Padahal sebelumnya tak ada yang meramalkan jabatan itu akan diberikan kepada Budiono, seorang birokrat bank yang tak terkenal dan belum pernah berpengalaman dalam politik.
Yang pasti dalam Pemilu 2014 mendatang, SBY dengan segerobak jabatannya di Partai Demokrat tak akan bisa lagi menggunakan isu anti-korupsi. Malah sebaliknya, dari sekarang SBY dan para pengurus inti partainya harus bersiap-siap untuk menjelaskan isu korupsi yang mewabah di Indonesia di bawah pemerintahan yang dipimpinnya. Dan itu tak gampang.
Banyak pendapat mengatakan karena isu korupsi yang melanda partai itu, dalam berbagai survei elektabilitas Partai Demokrat anjlok tinggal 7 atau 8 persen saja. Padahal dalam Pemilu 2009, partai ini beroleh suara hampir 21 persen.
Apalagi sikap Presiden SBY yang peragu menyebabkan berbagai masalah sulit diatasi. Misalnya, soal hubungan polisi dan militer yang belakangan tambah merepotkan.
Masalah pokoknya, selama 32 tahun Orde Baru, institusi kepolisian dan militer berada dalam satu atap dipimpin seorang Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata). Ketika itu, kepolisian digolongkan angkatan bersenjata.
Setelah reformasi 1998 (gerakan yang dibiayai pemerintah Amerika Serikat melalui US-AID), polisi berdiri sendiri terpisah dari TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tapi sekarang hubungan kedua institusi itu menjadi rawan. Tampaknya besar kecemburuan militer pada polisi yang sekarang sangat berkuasa (dan karenanya menguasai sumber dana).
Maka 7 Maret malam yang lalu, puluhan tentara berseragam menyerbu kantor Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Mereka membakar kantor Polres serta menyerang anggota polisi yang berjaga. Peristiwa ini disebabkan ketidak-puasan anggota militer atas peristiwa sebelumnya: teman mereka ditembak seorang polisi lalu lintas.
Tapi lebih mengerikan lagi peristiwa yang terjadi 23 Maret dinihari yang lalu, ketika sekitar 17 pasukan bersenjata menyerbu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Mereka melukai beberapa petugas Lapas, lalu masuk mencari 4 tahanan yang terlibat pengeroyokan Sersan Satu Santoso, anggota kesatuan militer di sana. Pengeroyokan itu terjadi di Hugo’s CafĂ©, Yogyakarta.
Setelah menemukannya, pasukan ini menghabisi 4 tahanan dengan senjata api yang mereka bawa. Luar biasa. Peristiwa seperti adegan film laga ini tampaknya baru pernah terjadi hanya di Indonesia.
Dan seperti biasa, karena bukan kisah sukses, maka Presiden SBY sedikitkan tak mengomentari peristiwa yang sangat memalukan ini. Tapi begitulah, peristiwa seperti ini tampaknya akan terus terjadi di bawah seorang pemimpin yang peragu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar