Soeharto, The Smiling General. Jenderal yang senang tersenyum. Bapak Pembangunan. Banyak dituding sebagai diktator 32 tahun. Inilah dia pemimpin paling kontroversial dalam sejarah Republik Indonesia.
Bagi pemujanya, ia pahlawan bangsa karena membawa Indonesia keluar dari keterpurukan ekonomi dan politik di masa Orde Lama. Bagi musuh-musuh politiknya, ia paling bertanggung jawab menumbuhkan gurita korupsi dan dekadensi di negeri ini.
Ia tokoh kontroversial “berselimut” mitos. Bahkan dalam urusan latar belakang keluarga. “Saya ini benar-benar kelahiran Desa Kemusuk, dan memang anak petani dari Desa Kemusuk,” katanya, saat bercerita mengenai silsilah keluarganya di hadapan wartawan dan undangan di ruang kerja kepresidenan di Bina Graha Jakarta, 28 Oktober 1974.
Kemusuk adalah desa di pelosok Argomulyo, Godean, Yogyakarta. Soeharto lahir pada 9 Juni 1921, anak ketiga dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Sang ayah adalah petugas pengatur air irigasi di desa.
Masa Kecil Soeharto
Di masa kecil Soeharto, orang tuanya bercerai. Ia akhirnya dirawat Mbah Kromodiryo, dukun bayi di desa. Namun, di tahun 1970-an, tersebar kabar bahwa Soeharto adalah keturunan keraton. Namun, Soeharto membantahnya. Soeharto mengaku dekat dengan penderitaan. “Saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin tak dialami orang lain,” katanya.
Penulis biografi kritis Soeharto dari Australia, Robert E Elson berpendapat, penderitaan tersebut mengembangkan sifat keras dan ulet dalam diri Soeharto. Soeharto juga berhati-hati untuk tergantung kepada orang lain, dan lebih menyukai hubungan dekat dalam lingkup kecil di mana dia menjadi figur dominan.
Soeharto bisa menyelesaikan sekolah menengahnya pada usia 18 tahun. Prestasi belajarnya biasa-biasa saja. Sekolah bukan hal menarik baginya. “Dia juga tidak terstimulasi gagasan intelektual atau oleh pentingnya konteks yang lebih luas di mana dia hidup…dan jelas tak terpengaruh oleh kegiatan gerakan perjuangan nasionalis Indonesia tahun 1920-an dan 1930-an,” kata Elson.
Dasar hidup Soeharto, menurut Elson, adalah pandangan dunia pedesaan dan kota kecil Jawa Tengah, sempit dengan batas-batas sosial yang pasti dan terbatas. Jika sebagian besar pemimpin dan pemikir republik ini lebih dekat dengan tradisi rasionalisme, terutama Barat, Soeharto justru lebih dekat dengan nalar mistis Jawa. Majalah Tempo menulis cerita, bagaimana sejak muda, Soeharto gemar bersemedi di sejumlah gua keramat. Di Gua Semar, yang terletak di Pegunungan Dieng, konon ia menerima wangsit untuk menjadi pemimpin.
Perjalanan Karir Soeharto
Soeharto merintis karier militer dengan bergabung ke KNIL (Koninklijk Nederlansche Indie Leger), sebuah organ tentara bentukan Belanda, tahun 1940. Elson memujinya sebagai serdadu cerdas dan baik. Soeharto adalah orang lapangan dan tahun 1942 sudah mendapat pangkat sersan. Tahun 1943, saat Jepang berkuasa, ia mendapat posisi komandan kompi PETA (Pembela Tana Air) dan dikenal sebagai sosok yang efisien dan dapat diandalkan.
Setelah Indonesia merdeka, karier militer Soeharto naik daun. Ia menjadi salah satu pasukan yang membasmi pemberontakan eks-KNIL di Sulawesi Selatan. Tahun 1956, ia menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Desember 1960, ia sudah berpangkat brigadir jenderal, dan tahun 1962 dipromosikan menjadi mayor jenderal dan menjadi Panglima Mandala Operasi Pembebasan Irian Barat. Tahun 1965, ia diangkat menjadi Wakil Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dan tampil menjadi tokoh utama menggantikan Soekarno di tampuk kepresidenan.
Bertindak dengan Keyakinan
Di mata ilmuwan Kuntowijoyo, Soeharto adalah pemimpin yang mendasarkan diri pada an act of faith atau perbuatan berdasarkan keyakinan, bukan berdasarkan nalar. Sebagaimana dikutip Tempo dari OG Roeder, Soeharto yakin saat bertindak mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat. “Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri,” katanya.
Soeharto meyakini keputusan untuk membasmi Gerakan 30 September yang diduganya didalangi Partai Komunis Indonesia. Mantan Komandan Pasukan Khusus Wismoyo Arismunandar mengatakan, falsafah Jawa Soeharto adalah alon-alon asal kelakon. “Falsafah yang satu ini…bukan ‘melaksanakan dengan pelan-pelan’ melainkan ‘melakukan sesuatu dengan yakin dan berlandaskan kebenaran’. Pak Harto merealisasikannya dengan sikap dan perilaku yang mantap,” katanya.
Soeharto berpesan kepada Wismoyo saat masih berpangkat mayor. “Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis,” katanya.
Ajudan Soeharto, Suryadi, sering melihat sang presiden membuat disposisi kebijakan yang berbeda dari informasi yang masuk. Soeharto beralasan, banyak faktor yang mempengaruhi dan harus dipertimbangkan. “Ini keputusan berskala nasional,” kata sang presiden.
Keyakinan itu pula yang membuat Soeharto berani mengambil risiko. Tahun 1995, saat Semenanjung Balkan tengah bergolak, ia pamit kepada Presiden Kroasia untuk berkunjung ke Sarajevo, Ibu Kota Bosnia. Padahal saat itu pasukan khusus Persatuan Bangsa-Bangsa baru saja ditembaki di wilayah sana. “Kita ini pemimpin Negara Nonblok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok,” katanya.
Keyakinan Soeharto bertindak, boleh jadi dibentuk pengalaman militernya puluhan tahun. Dalam dunia militer, ada kalanya prajurit tak boleh hanya mengandalkan taktik, tapi juga insting. Dan insting harus dilakukan dengan keyakinan zonder keraguan, seperti salah satu semboyan militer: jika ragu-ragu lebih baik kembali.
Tentu saja, insting dan keyakinan didapat dengan kemampuan mengenali situasi. Keyakinan Soeharto dalam mengambil sikap terpancar dari bahasa tubuhnya. “Pak Harto itu, bahasa tubuhnya dan bahasa kata-katanya padat. Kalau ketemu dia, dirasakan sekali kepadatan dan wibawanya dan kata-katanya,” kata Juwono Sudarsono, mantan menteri, sebagaimana dikutip Tjipta Lesmana.
AM Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi mengatakan, jika Soeharto berketetapan ‘A’, harus ‘A’ yang dilaksanakan. Tidak ada tawar-menawar. Namun, ia berani membela saat menterinya dikritik dan dikecam karena suatu kebijakan. “…Nggak usah ngadu pun, Pak Harto dengar kalau salah seorang menterinya disalah-salahi. Pak Harto bilang, ‘saya yang suruh’,” kata Hendropriyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar