Bangsa Indonesia sedang dirundung persoalan besar menjelang bangsa ini akan merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei 2013. 11 Provinsi harus merelakan kedaulatannya tidak bisa menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada waktu yang bersamaan dengan 22 Provinsi lainnya dikarenakan soal ujian yang belum selesai dicetak.
Persoalan percetakan ini sebenarnya sudah dicium oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, M.Nuh pada 3 hari sebelum kejadian. Akan tetapi, langkah yang diambil Nihil. Kini M.Nuh justru menuding PT.Ghalia untuk bertanggung jawab atas kejadian ini yang sebelumnya beban tanggung jawab ini ingin Ia pikul sendiri.
Kekalutan atas kejadian ini sangat wajar sekali. Keterlambatan soal ujian di beberapa daerah seperti di Kalimantan, Samarinda, dan Bali terjadi hampir sepekan. Bahkan beberapa Siswa harus mondar-mandir memikul kekecewaan dan kecemasan setelah 3 kali dinyatakan ujian mundur.
Kekisruhan UN ini bukan saja persoalan keterlambatan pengiriman soal ujian saja, akan tetapi, kekhawatiran kebocoran soal yang terbukti di beberapa daerah seperti di Lampung. Praktek bocoran UN memang bukan terjadi pada Tahun 2013 saja, namun, hal ini sudah terjadi sejak Tahun 2008. Anehnya, Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi potensi kebocoran itu dengan membuat 20 paket soal yang berbeda di setiap kelas. Faktanya, menurut investigasi Metro TV beberapa hari yang lalu, ada 2 pihak yang punya andil di dalam proses kebocoran UN ini. Pihak pertama adalah sekolah dan pihak kedua adalah mahasiswa. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kunci jawaban pun tidak bisa terbilang murah. Paling tidak mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 Juta untuk mendapatkan jawaban tersebut. Lucunya, mereka tidak mengetahui dengan pasti darimana sumber jawaban tersebut.
Masih sama dengan soal ketidakjujuran pada saat UN, di satu sekolah di Medan, seorang wartawan menangkap kejadian menarik di suatu kelas dimana para murid saling berdiskusi dan mencontek pada saat penyelenggaraan UN. Kejadian ini terekam oleh kamera wartawan dan menjadi buah bibir di masyrakat bahwa Tim Pengawas Ujian benar-benar lalai.
Kejadian menarik juga terjadi di Palangkaraya, dus soal UN tertukar dengan dus minuman. Hal ini tentu saja menyebabkan tanda Tanya besar terhadap distribusi naskah UN yang mengalami kendala tekhnis luar biasa di belasan Provinsi.
Masyarakat kini mengalami kemuakan massal terhadap kegagalan Kemendikbud RI di dalam manajemen UN pada Tahun 2013. Gelombang massa bergerak di berbagai daerah terutama di Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pendidikan. Protes yang mengangkat aspirasi soal “Penghapusan UN” menjadi semakin lantang. Angin segar mengenai “PenghapusanUN” juga datang dari akun Twitter @SBYudhoyono yang disampaikan di tengah-tengah kisruh keterlambatan naskah UN.
Di jalur dimana UN terus dieprtanyakan dan digugat, penulis melihat UN tidak lebih dari “Ujian Nasib” saja. Mengapa demikian ? UN hanya sebuah formalitas bagi pelajar di Nusantara. Mereka kesulitan menemukan esensi dari praktik ini. Bimbingan Belajar bukan menyelesaikan masalah, justru bermunculan menawarkan program komersil yang seolah-olah mampu menjadi “Malaikat” penyelamat UN para pelajar. Parahnya, ada beberapa Bimbingan Belajar yang justru ikut dalam praktik berjualan bocoran jawaban UN. Akhirnya, para pelajar seperti menguji nasibnya saja, apakah Ia Lulus atau Tidak dalam proses akademik ini.
Aksi pasca kelulusan saja beragam direspon oleh para pelajar. Ada yang justru harus meninggal karena aksi konvoi kendaraan. Ada juga yang justru terlibat pesta Narkoba. Dan masih banyak lagi kejadian yang justru tidak mencerminkan pemahaman para pelajar terhadap UN itu sendiri.
Memang Pemerintah dan Tokoh Pendidikan perlu mengkaji ulang keberadaan UN selama ini. Dikhawatirkan UN hanyalah sebuah rutinitas yang ternyata tidak memberikan dampak sosial yang besar kepada masyarakat. UN yang selama ini kita lihat tidak lebih dari miniatur politik kotor di Senayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar