Kamis, 03 Juli 2014

OPTIMALISASI STRATEGIC DALAM MENGELOLA BANK

Nama              : Wiwit Tri Chahyani
NPM               : 27212761
Kelas               : SMAK06-5
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN 2


OPTIMALISASI STRATEGIC DALAM MENGELOLA BANK

Bank adalah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary yang berarti menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat ke dalam bentuk pinjaman. Dilihat dari struktur asset bank, kredit atau pinjaman merupakan aktiva produktif terbesar sehingga pendapatan bunga yang diperoleh bank dari penyaluran kredit ini merupakan pendapatan terbesar yang di peroleh bank. Tapi karena sumber dana utama yang digunakan untuk membiayai penyaluran kredit tersebut berasal dari pihak ketiga maka besarnya pendapatan bunga tersebut akan diikuti pula dengan besarnya beban bunga yang harus dibayar kepada nasabah. Oleh karena itu pihak bank harus dapat menentukan besarnya tingkat bunga yang paling efektif sehingga kredit yang disalurkan dapat mengahasilkan laba yang sebesar-besarnya. Untuk menilai fungsi intermediary tersebut dengan menggunakan perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank dengan cara membagi jumlah kredit dengan jumlah dana.
 Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio yang menunjukan kemampuan suatu bank dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki oleh bank maupun dana yang dapat dikumpulkan dari masyarakat. Loan to Deposit Ratio menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan nasabah dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Rasio antara seluruh jumlah. Kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Semakin tinggi rasio tsb, maka makin rendah likuiditas bank  tersebut. Nilai LDR dapat ditentukan melalui suatu formula yang ditentukan oleh bank Indonesia melalui surat edaran bank Indonesia.
Perhitungan LDR sebagai berikut :



        
      Kebijakan Bank ada 3 yaitu  Konservatif ,moderate dan ekspansi . Konsevatif adalah Kebijakan pendanaan aktiva lancar dengan cara pendanaan seluruh aktiva tetapnya dengan modal jangka panjang dan sebagian dari aktiva lancar permanennya (aktiva tetap yang harus dimiliki oleh bank meskipun sedang berada di bagian terendah siklus bisnisnya) dengan kredit jangka panjang nonspontan. Strategi ini untuk mendapatkan keuntungan pendanaan utang jangka pendek lebih murah dari utang jangka panjang artinya bank lebih memperhatikan likuiditasnya dibandingkan profitabilitasnya.


Bank memiliki kebijakan moderate apabila cadangan simpanan/capital bank itu seimbang dengan penyaluran kreditnya terhadap masyarakat. nilai LDR moderate berkisar 40%-60% sehingga penyaluran kredit terhadap masyarakat akan seimbang dengan simpanan deposit bank tersebut.

Faktor ekspansi kredit yang ditunjukkan dengan rasio LDR sangat penting oleh bank dalam menjalankan intermediasinya dengan tujuan untuk memperoleh laba yang didapat dari selisih pendapatan bank dengan beban bunga simpanan (spreed). Dengan peningkatan dan pengelolaan penyaluran kredit yang baik akan mendorong suatu bank untuk meningkatkan kemampuannya dalam memperoleh laba (profitabilitas). Selain itu kebijakan ekspansif dapat meningkatkan rasio kecukupan modal securities dengan modal minimal 20% dan dapat menekan LDR sampai 110%
Untuk mengurangi tingginya resiko yang dihadapi perbankan dalam penyaluran pinjaman yang diberikan dibandingkan dengan besarnya modal sendiri dan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun bank, berdasarkan ketentuan yang sedang berlangsung dalam surat edaran Bank Indonesia. Batas aman LDR suatu bank secara umum adalah sekitar 90%-100% sedangkan menurut ketentuan bank sentral, batas aman LDR suatu bank adalah 110%
Dalam kebijakan ekspansif terdapat kebijakan “The law of the large number” adalah suatu konsep statistik yang menghitung jumlah rata-rata kejadian/resiko dalam sebuah sample atau populasi untuk memprediksi sesuatu. Semakin besar populasi yang dihitung, maka prediksinya akan semakin tepat. Dalam bidang asuransi, Hukum Bilangan Besar ini digunakan untuk memprediksi resiko kerugian atau klaim dari sejumlah peserta sehingga preminya bisa dihitung dengan tepat. Misalnya terdapat rata-rata bahwa dari setiap 100 peserta asuransi, terdapat satu peserta yang mengajukan klaim kecelakaan, maka premi dari 100 peserta itu harus bisa memberikan Uang Pertanggungan kepada minimal 1 klaim kecelakaan. Semakin besar peserta asuransi yang dihitung, maka akan semakin tepat prediksi kalim dan perhitungan preminya. Pengalaman dari suatu perusahaan asuransi sangat berperan dalam menghitung angka-angka tersebut.di dalam bidang perbankan jika bank harus memilih 1000 orang yang akan menabung 10.000 atau 1 orang yang menabung 1.000.000 maka bank akan memilih 1000 orang yang akan menabung 10.000 karena semakin banyak nasabah yang menabung di bank tersebut, maka semakin baik kualitas bank tersebut.
Laba yang diperoleh bank dapat ditunjukkan dapat dilihat dari perhitungan di bawah ini


Untuk mengoptimalisasi profitabilitas bank, Bank dapat mengoptimalkan tingkat pendapatannya dengan cara peningkatan interest speed income dan fee based income.Interest speed income yaitu pendapatan bunga yang diperoleh oleh bank dari hasil selisih bunga pinjaman dan bunga simpanan ( i2 – i1). Dana pihak ketiga meliputi tabungan, giro, dan deposit. Sedangakan asset bank terdiri dari kredit dan securities. Sedangkan fee based income yaitu pendapatan bank dari hasil pemberiaan jasa contohnya kliring, valas, transfer, safe deposit pos, inkaso, Letter of Credit & bilyet giro. Dana pihak ketiga yang diperoleh bank akhinya memberiakan fasilitas dan kemudahan untuk para nasabahnya dengan penerapan integrasi data base. Selain optimalisasi tingkat pendapatan bank juga dapat mengurangi bebannya yaitu dengan melakukan efisiensi. Efisiensi yang dapat dilakukan oleh bank diantaranya :

1. Kegiatan Operasional :
Bank dapat melakukan efisiensi dalam kegiatan operasionalnya diantaranya dengan pemberlakuan ATM, dengan pemberlakuan ATM maka bank dapat mengurangi jasa dari teller bank yang akhirnya dapat mengurangi beban operasional bank. Selain itu dengan pemberlakuan ATM nasabah dapat memperoleh dana dan menstransfer dan dengan lebih efisien

2. Human resources :
Sumber daya manusia sangat diperlukan dalam kegiatan operasional bank. Human resources dapat disebut juga sebagi human capital artinya karyawan sebagai asset perusahaan , yaitu karyawan yang mempunyai kemampuan diatas rata-rata dan karyawan yang mempunyai sertifikasi.


Productivity paradoks

Dalam dunia perbankan terdapat istilah Productivity paradoks  yaitu fenomena ”ketidakcocokan” atau ”ketidakseimbangan” antara besaran investasi yang dikeluarkan untuk keperluan teknologi informasi dengan ukuran total output yang dihasilkan. Productivity paradoks dapat diakibatkan karena :
1. Permasalahan analisa dan representasi data tidak memperlihatkan terjadinya peningkatan produktivitas;
2.  Manfaat yang diperoleh oleh teknologi informasi tidak terlihat karena adanya kerugian di area lain; dan
3.    Peningkatan produktivitas tidak terlihat karena adanya kegagalan penerapan teknologi informasi atau tingginya alokasi biaya teknologi informasi.


Likuiditas


Pengelolaan likuiditas merupakan masalah yang sangat kompleks dalam kegiatan operasi bank. Hal ini karena menyangkut dana pihak ke tiga (DPK) yang sebagian besar sifatnya jangka pendek dan tak terduga. Pengelola bank harus memperhatikan seakurat mungkin kebutuhan likuiditas untuk jangka waktu tertentu. Perkiraan kebutuhan likuiditas dipengaruhi oleh perilaku penarikan nasabah, sifat dan jenis sumber dana yang dikelola bank. Suatu bank dukatakan likuid, apabila bank yangbersangkutan mampu membayar semua hutangnya, terutama hutang-hutang jangka pendek. Selain itu juga bank harus mampu memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai. Dalam likuidasi dikenal istilah Legal Reserve Requirement (LRR) adalah ketentuan bagi setiap bank umum untuk menyisihkan sebagian dari dana pihak ketiga yang berhasil dihimpunnya dalam bentuk giro wajib minimum berupa rekening giro bank yang bersangkutan pada bank Indonesia.LRR tebagi menjadi 2 yaitu :


1.      Reserve Requirement (RR)

 jumlah dana yang harus dipertahankan dalam rekening giro pada bank sentral atau pada bank koresponden dalam bentuk kas; rekening giro yang merupakan cadangan wajib minimum di bank sentral tidak diberikan bunga; bank umum wajib memelihara cadangan wajib minimumnya pada bank sentral. Biasanya Reserve Requirement berupa rekening koran pada BI dengan jumlah 2% dari depositnya.

2.      Excess Reserve (ER)


selisih antara saldo giro perbankan di bank Indonesia dengan Giro Wajib Minimum (GWM) berupa rekening koran pada BI
Ada dua kemungkinan kejadian Jika rekening koran pada BI tinggi maka LRR tinggi berarti banyak dana yang Unloanable Fund sehingga bank lebih aman jika terjadi culture shock (krisis) tetapi bank tidak bisa optimal dalam kegiatan operasionalnya karena dana tersebut tidak dapat disalurkan (kredit). Sedangkan jika rekening koran pada BI rendah maka LRR rendah, selanjutnya Loanable fund tinggi sehingga maka bank akan semakin rentan menghadapi culture stock. Oleh karena itu, bank melakukan solusi melalui Risk Management yang terdiri dari lima level, high to low. Risiko ada yang dapat dikontrol ada pula yang tidak bisa dikontrol. Risiko yang dapat dikontrol seperti berapa jumlah cek atau giro nasabah. Risiko yang tidak dapat dikontrol seperti perilaku nasabah jika mendengar isu-isu (rush).


Konglomerasi modern


SITI BANK ingin melakukan ekspansi tetapi tidak ingin menyiapkan modal yang besar untk membuat perusahaan baru untuk itu  SITI BANK menyalurkan kredit kepada PT. X perusahaan leasing. Lalu PT. X melakukan kerja sama dengan SETRA COMPANY dalam melakukan penjualan motor  dengan harga Rp 10 juta. SETRA COMPANY kekurangan dana sehingga ia meminjam uang kepada SITI BANK untuk membuka usaha.PT. X mengasuransikan motor yang dijualnya ke perusahaan asuransi (PT. ZK) jika ada pembeli yang tidak dapat melunasi pembelian kredit motor dengan membayar premi kepada PT. ZK Rp 10.000. Suatu hari Mr. A meninggal sebelum melunasi kreditnya, karena PT. X sudah mengasuransikan motor yang dijualnya maka PT. X mendapatkan Uang Pertanggungan (UP) sebesar Rp 10.000.000.  Melihat transaksi yang terjadi antara PT. X, SETRA COMPANY, dan PT. ZK membuat SITI BANK tertarik untuk  bekerja sama dengan PT. ZK dalam asuransi perbankan sehingga SITI BANK memiliki pengaruh pada PT. ZK.PT. ZK mendapatkan premi dari PT. X sebesar Rp 10.000 dengan menjamin penjualan motor dengan harga Rp 10 juta. Namun, PT. ZK tidak sanggup  menanggung risiko sebesar Rp 10 juta tersebut. PT. ZK hanya mampu menjamin Rp 2 juta sehingga hanya mendapatkan premi Rp 2.000. Kemudian PT. ZK bekerja sama dengan perusahaan asuransi lain, PT. KL untuk menanggung uang Rp 8 juta sehingga PT. KL mendapat premi Rp 8.000. Hal ini disebut Reasuransi.PT. KL ternyata tidak sanggup untuk menanggung Rp 8 juta dan hanya dapat menanggung Rp 2 juta sehingga PT. KL mengajak kerja sama perusahaan lain, PT. OP untuk menanggung sisanya sebesar Rp 6 juta. Oleh karena itu, PT. KL hanya mendapat Rp 2 ribu dan PT. OP mendapat Rp 6 ribu atas premi. Hal ini disebut Retrocessi.Dalam hal ini, PT. OP mendapat bagian yang paling besar, sehingga PT. OP membuat tiga perusahaan baru, yaitu OK, LO, MO. Kemudian ketiga perusahaan tersebut melakukan pembelian saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan proporsi 25% (OK), 20% (LO), dan 15% (MO) dan menjual kembali saham tersebut segera setelah harga saham tersebut naik (short selling) dengan mendapatkan capital gain.Pada suatu saat, SITI BANK menjual sahamnya ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan dibeli oleh OK, LO, dan MO anak perusahaan dari PT OP. Dengan kata lain, PT. OP memiliki saham pada SITI BANK sebesar 60%. Persentase ini menyebabkan PT. OP memiliki kepemilikan atas SITI BANK dan secara tidak langsung PT. OP juga memiliki pengaruh terhadap PT. ZK.

Rabu, 02 Juli 2014

SISTEM KLIRING DALAM BANK UMUM DAN TANGGUNG JAWAB KETERLAMBATAN KLIRING PADA NASABAH

WIWIT TRI CHAHYANI
27212761
SMAK06-5
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN 2


SISTEM KLIRING DALAM BANK UMUM DAN TANGGUNG JAWAB KETERLAMBATAN KLIRING PADA NASABAH

A. PENDAHULUAN

Dalam perekonomian dewasa ini tidak lepas dari peran lembaga keuangan yang berfungsi sebagai pengatur lalu lintas keuangan. Bank adalah salah satu lembaga keuangan yang berperan penting dalam perekonomian. Menurut Undang-Undang No.10 tahun 1998, Bank merupakan lembaga perantara keuangan, dimana bank bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peran bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak – pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak – pihak yang memerlukan dana (deficit of funds).
Perkembangan perekonomian bebas sekarang ini mengarah pada tingkat persaingan usaha yang semakin tinggi. Akibat dari persaingan itu maka dibutuhkan daya bersaing dan kreativitas dari setiap usaha. Pada dasarnya tingkat persaingan usaha menuntut adanya kemudahan dan kecepatan dari system pembayaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang konsumtif. Karena kebutuhan pembayaran yang semakin meningkat dalam lembaga keuangan diharapkan masyarakat dapat  dengan mudah memenuhi kebutuhan pembayaran secara lebih efisien, aman, dan lancar dengan menggunakan alat pembayaran tidak langsung guna untuk melaksanakan aktivitas pembayaran maupun penagihan melalui perantara bank.
Pembayaran menjadi komponen penting dalam setiap kegiatan transaksi perdagangan barang dan jasa. Keberhasilan system pembayaran dapat mendukung perkembangan system keuangan perbankan sedangkan resiko ketidaklancaran atau kegagalan system keuangan pembayaran akan memberikan dampak yang kurang baik pada kestabilan perekonomian. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya pengaturan dan kelancaran pada sisitem pembayaran.


B. LANDASAN TEORI

1.1 Pengertian Kliring

        Bank sebagai lembaga keuangan mempuyai kegiatan untuk memobilisasi dana masyarakat dan menyalurkannya kembali, selain itu fungsi bank juga untuk menawarkan jasa jasa yang bersifat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran, baik local maupun internasional. Jasa tersebut umumnya dikenal dengan istilah jasa keuangan salah satunya adalah kliring.
     Kliring berasal dari kata “To Clear” yang berarti membersihkan, menyelesaikan, sehingga melalui wadah kliring ini masing-masing bank dapat menyelesaikan hutang piutangnya yang terjadi karena transaksi yang dilakukan antar nasabah bank yang satu dengan nasabah bank yang lainnya dengan menggunakan alat-alat pembayaran giral
       Menurut Simorangkir “kliring adalah tata cara perhitungan utang piutang dalam bentuk surat-surat dagang dan surat-surat berharga antara bank-bank peserta kliring dengan maksud agar perhitungan utang piutang tersebut terselenggara secara mudah cepat dan aman dan terpusat pada satu tempat.
       Surat keputusan Direksi Bank Indonesia No 13/35/kep Dir/ UPPB tahun 1981 tentang Kliring, memberikan pengertian baha yang dimaksud dengan kliring adalah sarana perhitungan warkat antar bank guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral.

1.2 Tujuan Kliring sebagai system pembayaran

Sebelum terciptanya kliring maka perhitungan penyelesaian hutang piutang yang terdiri dari banyak bank memerlukan waktu yang cukup lama, biaya yang besar serta tenaga yang tidak efisien, karena masing-masing bank akan berhubungan langsung dengan bank lainnya dalam menyelesaikan hutang piutang tersebut. Keadaan itu menimbulkan jalur pembayaran menjadi terhambat,karena itu dirasakan perlunya suatu wadah untuk melakukan kliring yang dikenal dengan lembaga kliring.Dengan adanya kliring maka bank bank tersebut dapat menyelesaikan hutang piutangnya dengan mudah tanpa perlu menghubungi bank lain satu persatu tetapi dapat dilaksankan secara terpusat dan diorganisir oleh Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring. Hal tersebut dapat berdampak positif untuk memajukan dan memperlancar lalu lintas pembayaran dan perhitungan hutang piutang dapat dilaksanakan dengan lebih mudah, aman dan efisien.

1.3 Jenis Transaksi Kliring

Transaksi kliring yang dapat dilakukan meliputi:
1. Transfer debet (menggunakan cek, bilyet giro atau warkat debet lainnya); dan
2. Transfer kredit (mengisi formulir isian yang disediakan oleh bank) yang kemudian akan dikirim oleh bank melalui data keuangan elektronik yang disediakan dalam SKNBI.

1.4 Jenis-Jenis Kliring

Jenis-jenis kliring ada 3 yaitu kliring umum, Kliring local, dan Kliring antar cabang

  • Kliring umum, adalah : sarana perhitungan warkat-warkat antar bank yang pelaksanaannya diatur oleh B I.
  • Kliring lokal, adalah : sarana perhitungan warkat-warkat antar bank yang berada dalam suatu wilayah kliring (wilayah yang ditentukan).
  • Kliring antar cabang, adalah : sarana perhitungan warkat antar kantor cabang suatu bank peserta yang biasanya berada dalam satu wilayah kota. KLiring ini dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh perhitungan dari sauatu kantor cabang untuk kantor cabang lainnya yang bersangkutan pada kantor induk yang bersangkutan.

1.5 Warkat / Nota kliring

1. Adalah alat atau sarana yang digunakan dalam lalu lintas pembayaran giral, yaitu surat berharga atau surat dagang seperti :
a)      cek,
b)      bilyet giro,
c)      wesel bank untuk trasfer atau wesel unjuk,
d)     bukti-bukti penerimaan transfer dari bank-bank,
e)      nota kredit, dan
f)       surat-surat lainnya yang disetujui oleh penyelenggara ( B I )

2. Syarat-syarat warkat yang dapat dikliringkan :
a)      Ber valuta Rupiah
b)       Bernilai nominal penuh
c)      Telah jatuh tempo pada saat dikliringkan dan
d)     Telah dibubuhi cap kliring

3. Jenis – jenis warkat kliring :
a)      Warkat debet keluar
Adalah warkat bank lain yang disetorkan oleh nasabah sendiri untuk keuntungan rekening nasabah yang bersangkutan.

Contoh :
Amir nasabah bank BCA Jakarta menerima pembayaran dari Ani nasabah bank BNI Bekasi berupa cek. Cek tersebut disetorkan oleh Amir dari Ani ke bank BCA, maka cek tersebut dapat dikatakan sebagai warkat debet keluar.

b)      Warkat debet masuk.
Adalah warkat yang diterima oleh suatu bank dari bank lain melalui B I atas warkat atau cek bank sendiri yang ditarik oleh nasabah sendiri dan atas beban nasabah yang bersangkutan.

Contoh :
Bila bank BCA Jakarta menerima cek dari bank BRI Bandung atas cek yang telah ditarik Nia  nasabah sendiri, maka cek tersebut merupakan warkat debet masuk bagi bank BCA

4. Warkat kredit keluar
Adalah warkat dari nasabah sendiri untuk disetorkan kepada nasabah bank lain pada bank lain.
Bank yang menyerahkan warkat tersebut akan mengkreditkan rekening giro BI dan mendebet giro nasabah.

5. Warkat kredit masuk
Adalah warkat yang diterima oleh suatu bank untuk keuntungan rekening nasabah bank tersebut.
Bank yang menerima warkat tersebut akan mendebit rekening giro B I dan mengkredit giro nasabah.


C. PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme sistem  Kliring

Pertemuan kliring dilakukan dalam dua tahap yaitu :
1)     Kliring Penyerahan
bank-bank yang terlibat dalam transaksi kliring akan saling menyerahkan warkat.

Kegiatan yang perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum kliring penyerahan adalah :
a)      Warkat di cap yang memuat sebutan “kliring” dan dicantumkan nomor kode kelompok   peserta
b)      Persetujuan penyelenggara dan peserta lain
                        
Langkah-langkah selanjutnya adalah :

a)   Warkat-warkat dikelompokkan sesuai peserta. Warkat-warkat tersebut dapat digolongkan menjadi :

Warkat kliring yang diserahkan oleh masing-masing peserta, yaitu :
·  Nota Debet Keluar yaitu warkat yang disetorkan oleh nasbah suatu bank untuk keuntungan rekening nasbah tersebut.
·    Nota Kredit Keluar yaitu warkat pembebanan ke rekening nasabah yang menyetorkan untuk keuntungan rekening nasabah bank lain.

           Warkat kliring yang diterima dari peserta lain, yaitu :
·    Nota Debet Masuk yaitu warkat yang diserahkan oleh peserta lain atas beban nasabah bank yang menerima warkat.
·   Nota Debet Keluar yaitu warkat yang diserahkan oleh peserta lain untuk keuntungan nasabah bank yang menerima warkat.

b)    Warkat debet dan kredit dirinci nilai nominalnya dalam suatu daftar.
c)     Nilai nominal dan banyaknya warkat dalam daftar kliring di jumlahkan.
d)    Serah terima warkat kliring yang telah ditandatangani oleh wakil peserta kliring
e)  Apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai dapat tidaknya warkat diperhitungkan dalam kliring, maka keputusan akhir diserahkan kepada penyelenggara.
f)   Penyusunan neraca kliring penyerahan yang ditandatangani dan dibubuhi nama peserta kliring dengan jelas.
g)    Wakil peserta kliring kembali ke bank masing-masing untuk menentukan layak tidaknya warkat-warkat yang diterima dari bank lain untuk diselesaikan.

2)  Bank peserta kliring akan saling mengembalikan warkat apabila terjadi penolakan.
Penolakan kliring terjadi apabila saldo kliring lebih besar dari saldo giro artinya apabila nilai cek atu bilyet lebih besar dari saldo yang tertera di rekening giro, maka bank dapat menolat kliring tersebut.

2.2 Tata Cara Penyelenggaraan Kliring

            Menurut Drs. Mudjiono Sutadi secara sederhana tata cara penyelenggaraan kliring Bank Indonesia secara sederhana tata cara penyelenggaraan kliring dapat digambarkan sesuai dengan kejadian sebenarnya  di dalam proses mekanisme kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut :



Tuan E memiliki rekening giro di Bank A. Tuan E membeli barang pada pak U yang memiliki tabungan di Bank X. Pembayaran dilakukan oleh Pak E dengan cek Bank A. Pak U menyerahkan cek tersebut ke Bank X untuk diproses. Proses selanjutnya adalah Bank X mengirim cek tersebut ke BI dimana disana berkumpul bank-bank yang menjadi peserta kliring. BI akan mengirim cek tersebut ke perwakilan Bank A. Bank A akan melakukan pengecekan apakah saldo Pak E cukup untuk pencairan cek tersebut. apabila saldo mencukupi Bank A akan memberitahukan  kepada Bank X pada sesi kedua bahwa cek tersebut diterima dan transaksi terjadi. Namun jika dana tidak mencukupi cek tersebut akan ditolak oleh bank A dan tidak akan diproses. Sehingga Bank X akan mengabarkan pada Tuan U kalo cek tersebut gagal dicairkan.

2.3 Tinjauan tentang tanggung jawab Bank terhadap nasabah kliring

Tanggung jawab pribadi ada bila pengurus bertindak diluar kewenangan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan sewaktu pemberian kuasa pada pihak ke 3, tetapi apabila perbuatan masih dalam wewenang yang terkandung dalam anggaran dasar perusahaan maka itu merupakan tanggung jawab perusahaan. Berdasarkan hal tersebut maka bank terikat atas pengurusannya terhadap pihak ke 3 sehingga bank bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul.
Tanggung jawab bank umum terhadap nasabah yaitu bahwa bank tidak hanya memikul beban yang meliputi hal hal yang teah diperjanjikan saja, tetapi lebih daripada itu hingga sampai ada pertimbangan moral misalnya dengan memberikan ganti rugi yang diderita oleh nasabah apabila bank tidak dapat melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam isi perjanjian.

2.4 Hubungan Bank Peserta Kliring dengan Nasabah

Pihak bank dalam membuat perjanjian biasanya telah mempersiapkan terlebih dahulu mengenai isi dan biasanya dalam bentuk formulir yang telah tercetak sehingga merupakan suatu perjanjian yang telahdibakukan untuk suatu produk perbankan tertentu yang biasanya disebutperjanjian standar
Terhadap bentuk perjanjian tersebut, apabila pihak bank akan mengadakan perjanjian dengan nasabah dalam hal pembukaan rekening giro maupun berupa perintah pemindah bukuan atas warkat kliring tertentu melalui kliring, maka pihak bank tinggal menyodorkan perjanjian yang berupa formulir pembukaan rekening maupun formulir pemindah bukuan. Dengan penandatanganan formulir tersebut berarti telah terjadi kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah, dalam penggunaan salah satu jasa perbankan yaitu kliring.

2.5 Masalah Masalah yang terjadi terhadap nasabah Kliring

Dalam penyelenggaraan kliring kemungkinan terjadi kendala yang merugikan pihak nasabah maupun bank yaitu keterlambatan kliring. Keterlambatan kliring akan berakibat tertundanya transaksi dilakukan pada hari itu sehingga memungkinkan bagi nasabah untuk menuntut atas kerugian yang diderita tergantung dari transaksi yang dilakukan oleh nasabah dengan rekan usahanya. Keterlambatan kliring yang terjadi akibat dari kesalahan petugas kliring, maka bank akan bertanggung jawab atas claim dari nasabah yang mempunyai bukti bukti yang kuat. Adapun tanggung jawab bank terhadap nasabah yaitu bank bertanggung jawab hanya sebesar nilai nominal yang dikliringkan, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul diluar nominal yang dikliringkan, apabila  keterlambatan tersebut diakibatkan oleh penyelenggara kliring maka bank tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul, sedangkan dari pihak Bank Niaga dan banak pembangunan Daerah dengan tegas menyatakan tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul akibat keterlambatan kliring, pihak bank berpegang pada perjanjian yang telah dilakukan dalam bentuk formulir yang dapat dilihat dalam perjanjian pembukaan rekening yaitu terdapat klausal yang berbunyi “ seluruh resiko akan menjadi tanggung jawab saya atau kami dan bukan menjadi tanggung jawab atau kewajiban bank” . Perjanjian tersebut menurut nasabah menurut nasabah sangat tidak masuk akal karena perjanjian tersebut sudah dibuat lebih dahulu.
Nasabah yang merasa dirugikan oleh Bank dapat mengajukan claim kepada Bank atas kerugian yang diderita akibat keterlambatan kliring yang menimpa nasabah hal tersebut sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia. Meskipun bank telah menentukan prosedur claim tersebut, dari pihak nasabah masih mengalami kerugian karena sering terjadi pelimpahan tanggung jawab dalam pengajuan claim, yaitu nasabah harus menemui beberapa karyawan untuk menyampaikan keluhannya sehingga hal tersebut terlihat tidak efisien.
Kendala yang timbul dan akan berakibat fatal bagi bank maupun nasabah adalah masalah keterlambatan. petugas kliring tidak boleh mengikuti pertemuan kliring,sehingga semua warkat yang telah diterima bank untuk diikutsertakan dalam kliring harus dibatalkan. Dalam praktek dimungkinkan terjadi kekeliruan penolakan terhadap warkat yang dikliringkan yang semestinya cukup dananya, tetapi karena kesalahan administrasi bank terlanjur menolak dengan alasan dananya tidak cukup,maka bank bersangkutan harus bertanggung jawab.
Tanggung jawab dari bank tersebut adalah meminta persetujuan Bank Indonesia yang disertai dengan bukti yang mendukung adanya kesalahan administrasi, agar penolakan tersebut tidak dianggap sebagai penarikan cek atau bilyet giro kosong.


D. KESIMPULAN

Bank sebagai lembaga keuangan mempuyai kegiatan untuk memobilisasi dana masyarakat dan menyalurkannya kembali, selain itu fungsi bank juga untuk menawarkan jasa jasa yang bersifat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran, baik lokal maupun internasional. Jasa tersebut umumnya dikenal dengan istilah jasa keuangan salah satunya adalah kliring. Kliring merupakan system pembayaran bank dapat menyelesaikan hutang piutangnya yang terjadi karena transaksi yang dilakukan antar nasabah bank yang satu dengan nasabah bank yang lainnya dengan menggunakan alat-alat pembayaran giral. Dengan aktivitas kliring itu maka masyarakat dapat memperoleh kemudahan dan kecepatan dari system pembayaran untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam penyelenggaraan kliring kemungkinan terjadi kendala yang merugikan pihak nasabah maupun bank yaitu keterlambatan kliring. Keterlambatan kliring akan berakibat tertundanya transaksi dilakukan pada hari itu sehingga memungkinkan bagi nasabah untuk menuntut atas kerugian yang diderita tergantung dari transaksi yang dilakukan oleh nasabah dengan rekan usahanya. Keterlambatan kliring yang terjadi akibat dari kesalahan petugas kliring, maka bank akan bertanggung jawab atas claim dari nasabah yang mempunyai bukti bukti yang kuat. Adapun tanggung jawab bank terhadap nasabah yaitu bank bertanggung jawab hanya sebesar nilai nominal yang dikliringkan, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul diluar nominal yang dikliringkan, apabila  keterlambatan tersebut diakibatkan oleh penyelenggara kliring maka bank tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul, sedangkan dari pihak Bank Niaga dan banak pembangunan Daerah dengan tegas menyatakan tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul akibat keterlambatan kliring, pihak bank berpegang pada perjanjian yang telah dilakukan dalam bentuk formulir yang dapat dilihat dalam perjanjian pembukaan rekening yaitu terdapat klausal yang berbunyi “ seluruh resiko akan menjadi tanggung jawab saya atau kami dan bukan menjadi tanggung jawab atau kewajiban bank” . Perjanjian tersebut menurut nasabah menurut nasabah sangat tidak masuk akal karena perjanjian tersebut sudah dibuat lebih dahulu.
Nasabah yang merasa dirugikan oleh Bank dapat mengajukan claim kepada Bank atas kerugian yang diderita akibat keterlambatan kliring yang menimpa nasabah hal tersebut sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia. Meskipun bank telah menentukan prosedur claim tersebut, dari pihak nasabah masih mengalami kerugian karena sering terjadi pelimpahan tanggung jawab dalam pengajuan claim, yaitu nasabah harus menemui beberapa karyawan untuk menyampaikan keluhannya sehingga hal tersebut terlihat tidak efisien.


E. DAFTAR PUSTAKA

Agustinus Adriyanto. 2001.Tanggung Jawab Bank Umum Terhadap Nasabah Dalam Hal Keterlambatan Kliring. November 2001