Rabu, 01 Mei 2013

TUGAS MINGGU KE 4

MINGGU KE 4








Triwulan Satu, Penerimaan Negara Capai Rp 253,9 T

Triwulan Satu, Penerimaan Negara Capai Rp 253,9 T

TEMPO.COJakarta - Pemerintah mencatat realisasi penerimaan negara selama tiga bulan pertama tahun ini telah mencapai Rp 253,9 triliun. “Atau sebesar 16,6 persen dari pagu sebesar Rp 1.525,2 triliun,” seperti dikutip dari siaran pers Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Rabu, 10 April 2013.

Penerimaan negara itu terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 220,5 triliun dan 
penerimaan negara bukan pajaksebesar Rp 33,3 triliun. Jika dirinci penerimaan perpajakan tersebut terbagi atas pajak dalam negeri sebesar Rp 210,3 triliun dan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 10,2 triliun.

Adapun realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 271,9 triliun atau mencapai 16,2 persen dari pagu sebesar Rp 1.683 triliun. Meski begitu, neraca APBN tetap tercatat surplus karena defisit anggaran dikompensasi dari pencapaian pembiayaan sebesar Rp 36,3 triliun.

Dari data yang dipaparkan, pendorong pengeluaran anggaran belanja masih berasal dari belanja pegawai dan pembayaran utang pemerintah. Realisasi pos tersebut masing-masing, yakni Rp 50,9 triliun atau 21,1 persen dari pagu sebesar Rp 241,6 triliun dan Rp 26,5 triliun atau 23,4 persen dari pagu sebesar Rp 112,2 triliun.

Sedangkan realisasi subsidi energi sebesar Rp 23,5 triliun atau 8,6 persen dari pagu sebesar Rp 274,7 triliun. Realisasi tersebut terdiri atas realisasi subsidi BBM sebesar Rp 3,5 triliun atau 1,8 persen dari pagu Rp 193,8 triliun dan realisasi listrik sebesar Rp 20,07 triliun atau 24,7 persen dari pagu Rp 80,9 triliun.

Kemarin Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan fiskal masih baik. "Fiskal memang masih baik, tapi kalau didiamkan, kuartal 3 dan 4 akan ada tekanan," ujarnya.

Hanya saja, Agus menyatakan dampak dari tekanan krisis global masih akan terasa pada sisi penerimaan. "Sehingga harus ada penyeimbang yakni menjaga dan mengendalikan subsidi energi agar fiskal tetap sehat," katanya



http://www.tempo.co/topik/masalah/399/Anggaran-Pendapatan-dan-Belanja-Negara-APBN


komentar-komentar

1.  Ika andani ( 23212571 )
Realisasi penerimaan negara dapat dirincikan kedalam penerimaan perpajakan, penerimaan bukan pajak lalu di rinci sebagai pajak dalam negri dan pajak perdagangan internasional.lalu dana uang yang telah didapatkan dalam waktu tiga bulan tersebut dikeluarkan lumayan besar untuk pengeluaran anggaran belanja yang masih berasal dari belanja pegawai dan pembayaran utang pemerintah. Serta un tuk realisasi subsidi  dan realisasi BBM  dan realisasi listrik. Jika menurut Mentri keuangan Agus Martowardojo, fiskal masih baik, memang baik tetap jika didiamkan kuartal 3 dan 4 akan ada tekanan. Sdang kebijakan  fiskal sendiri itu adalah kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mempengaruhi jalan atau proses kehidupan ekonomi masyarakat melalui anggaran belanja Negara atau APBN. perubahan-perubahan pada belanja atau penerimaan pajak pemerintahan pusat yang dimaksudkan untuk mencapai penggunaan tenaga kerja-penuh, stabilitas harga, dan laju pertumbuhan ekonomi yang pantas. Serta dampak dari tekanan global masih akan terasa pada sisi penerimaan sehingga harus ada penyeimbang yakni menjaga dan mengendalikan subsidi agar fiskal tetap sehat. Dan neraca APBN tetap tercatat surplus karena devisit. Surplus adalah penerimaan yang melebihi pengeluaran dan defisit adalah pengeluaran lebih banyak dari penerimaan.

2.    Irma Selvyani  ( 28212140 )
Realisasi penerimaan negara selama tiga bulan pertama tahun ini telah mencapai Rp 253,9 T atau sebesar 16,6 persen dari pagu sebesar Rp 1.525,2 T. meski begitu, neraca APBN tetap tercatat surplus karena deficit anggaran dikompensasi dari pencapaian pembiayaan sebesar Rp 36,3 T. Keadaan ini membuktikan bahwa perekonomian Indonesia masih dalam fiscal yang baik seperti yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Namun, apabila keadaan ini didiamkan kemungkinan pada kuartal 3  dan 4 akan mengalami tekanan yang berdampak dari tekanan krisis global yang masih akan terasa pada sisi penerimaan. Sehingga pada keadaan ini harus ada penyeimbang yaitu dengan menjaga dan mengendalikan subsidi energi agar fiskal tetap sehat dan baik.

3.    Liberti ( 24212192 )
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber yaitu Penerimaan pajak yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak Bumi dan Bangunan(PBB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) & Cukai.Pajak lainnya seperti Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor).Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi Penerimaan dari sumber daya alam. Setoran laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penerimaan bukan pajak lainnya. Serta  menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan fiskal masih baik. "Fiskal memang masih baik, tapi kalau didiamkan, kuartal 3 dan 4 akan ada tekanan. Dan menurt agus kemungkinan memang akan terjadi dampak dari tekanan krisis global masih akan terasa dari segi penerimaan, sehigga akan ada pemyeimbang untuk menjaga dan mengendalikan subsidi energi agar fiskal tetap sehat

4. Wiwit Tri Chahyani (27212761)
.Sejatinya, visi atau kehendak pemimpin dalam membangun bangsa akan tercermin pada arah dan tujuan APBN. Sebab, melalui APBN-lah pemimpin bisa merealisasikan konsep-konsep pembangunan yang dicanangkannya, merealisasikan janji-janjinya, serta menunjukan kepedulian kepada kelompok-kelompok warga yang berkekurangan atau miskin. Singkat kata, APBN adalah mesin ekonomi yang mestinya dikendalikan seorang pemimpin untuk mencapai kemajuan bangsa, setahap demi setahap.
Oleh Karena itu, pemimpin harus terlibat dan mencermati betul proses perencanaan dan perumusan APBN.  Dia harus yakin betul bahwa visinya membangun negara dan rakyat dipahami dan dipatuhi secara konsisten oleh para pembantunya, baik di tingkat maupun di tingkat daerah. Pemahaman dan Kepatuhan yang konsisten itu harus tercermin dari program dan rencana proyek setiap kementerian dan daerah yang tertuang dalam APBN.
Artinya, jika pemimpin berkehendak kuat mengurangi jumlah warga miskin, kehendak itu harus tercermin dalam APBN. Lewat APBN pula rakyat bisa membaca ambisi pemimpin membangun dan melengkapi infrastruktur di berbagai daerah; membangun pelabuhan, Bandar udara, rel kereta api (KA) hingga jalan dan irigasi. Apakah pemimpin bersungguh-sungguh memenuhi dan melindungi kebutuhan pokok rakyat pun bisa dibaca dari format APBN.
Akan sangat merepotkan jika pemimpin pasif dan nrimo dalam perencanaan dan perumusan APBN. Kalau pasif. Berarti dia dalam posisi tidak mengendalikan arah dan tujuan APBN. Visinya membangun negara dan rakyat belum tentu terakomodasi dalam APBN. Padahal, prioritas peruntukan atau pemanfaatan kekuatan APBN butuh arahan dan keputusan seorang pemimpin. Kalau arah dan tujuan APBN di luar kendali pemimpin, para pembantunya akan merencanakan dan merumuskan APBN sesuka hati. Risikonya, pemimpin akan kecolongan.
Rendahnya pengelolaan anggaran di sejumlah daerah terbilang sangat memprihatinkan. Sebuah kajian menyebutkan bahwa tidak kurang dari 302 daerah berani mengalokasikan 50 persen APBD-nya untuk belanja pegawai. Postur anggaran seperti itu bukan hanya tidak efisien, melainkan sangat tidak sehat. Bahkan tidak berkeadilan. Pihak yang patut dipersalahkan tidak hanya penerima atau pelaksana anggaran, melainkan juga mereka yang menyetujui dan meloloskan postur anggaran seperti itu. Pada akhirnya, yang patut juga untuk dipersoalkan adalah politik anggaran pemerintah. Sebab, yang terlihat adalah APBN yang lebih memrioritaskan pelayanan kepada birokrasi. Sementara perhatian terhadap kepentingan rakyat sangat minim.
Maka dari itu pemerintah haruslah bijak dalam merealisasikan belanja negara dan  menjaga agar realisasi penerimaan negara terus meningkat. Selain itu dampak dari krisis global harus di kendalikan agar mencegah terjadinya defisit negara.
              .

TUGAS MINGGU KE 3

MINGGU KE 3


Produksi Industri Berbasis Ekspor Melorot


JAKARTA-Meskipun secara keseluruhan produksi manufaktur pada tahun lalu naik 4,12%, kinerja beberapa sektor berbasis ekspor mengalami kontraksi akibat krisis ekonomi global serta masalah regulasi dan buruh di dalam negeri.
Badan Pusat Statistik mencatat produksi sejumlah sektor industri yang mengandalkan eskpor turun pada tahun lalu, seperti logam dasar, tekstil, mesin dan perlengkapnnya, furnitur, produk kertas, barang kerajinan, percetakan, dan minuman.
Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengungkapkan penurunan produksi industri tekstil yang mencapai 8,32% lebih disebabkan oleh regulasi dan permasalahan di dalam negeri daripada dampak krisis global.
"Memang krisis ekonomi di Eropa berdampak, tetapi masalah internal seperti adanya regulasi yang membatasi kinerja ekspor dan masalah buruh juga menjadi penyebabnya," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/2).
Data BPS memperlihatkan secara kumulatif nilai ekspor Indonesia pada tahun lalu mencapai US$190,04 miliar atau turun 6,61% dibandingkan dengan periode yang sama 2011, sementara ekspor nonmigas US$153,07 miliar atau turun 5,52%.
Berdasarkan sektor, ekspor hasil industri pada Januari-Desember 2012 turun 4,95% dibandingkan dengan periode yang sama 2011. Adapun, ekspor hasil tambang dan lainnya turun 9,57% dan ekspor hasil pertanian naik 7,98%. Ade menjelaskan pemberlakuan
Peraturan Menteri Keuangan No.PMK 253 Tahun 2011 yang mengatur Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) menyebabkan kinerja industri TPT menurun.
Dalam aturan tersebut, eksportir TPT harus membayar pajak pertambahan nilai (PPn) di muka dan membuat proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri.
Aturan tersebut, tuturnya, juga mengakibatkan pengusaha TPT kesulitan mendapatkan restitusi pajak dan tidak boleh melimpahkan pesanan kepada subkontraktor sehingga pengusaha kesulitan memenuhi permintaan dari luar negeri. "Masalah dalam negeri ini yang lebih banyak menghambat pertumbuhan industri TPT," katanya.
Selain itu, lanjut Ade, pengusaha kesulitan untuk memasarkan produk di dalam negeri karena melonjaknya impor, terutama dari China, sehingga produk lokal kehilangan daya saing.
Pada tahun lalu juga terjadi masalah perburuhan yaitu tuntutan penaikan upah minimum provinsi melalui unjuk rasa buruh yang menyebabkan beberapa perusahaan sempat berhenti produksi.
MELEMAH
Ambar Tjahyono, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), mengatakan perkiraan ekspor produk furnitur pada tahun lalu memang melemah dan hanya mencatat US$1,75 miliar akibat krisis ekonomi global.
"Ekspor ke Eropa tidak bisa diandalkan sepenuhnya karena kondisi ekonomi global sedang menurun. Tahun ini, kami akan
mencoba membuka pasar baru di Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah, dan Asia," ujarnya.
Haris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, mengatakan penurunan produksi manufaktur pada tahun lalu juga disebabkan banyak pengusaha belum memulai produksi komersial walaupun telah menambah investasi.
Investasi di sektor logam, mesin, dan elektronik, contohnya, mencapai US$2,4 miliar pada tahun lalu, naik 38,3% dibandingkan dengan 2011. Namun, di sisi lain, industri logam dasar dan mesin mengalami penurunan produksi masing-masing 8,4% dan 8,3%.
"Memang investasi pada tahun lalu di sektor manufaktur melonjak. Jika ada penurunan produksi, faktor lainnya adalah karena belum mulai produksi komersial saja," katanya.
sumber : Bisnis Indonesia

KOMENTAR-KOMENTAR :


1.    Ika andani ( 23212571 )
Penurunan produksi industri yang mengandalkan ekspor akhir- akhir ini memang sedang mengalami penurunan, seperti produksi sektor industri, Yaitu logam dasar, tekstil, mesin dan perlengkapannya, furnitur, produksi kertas, barang kerajinan, percetakan dan minuman, penurunan ini di sebabkan oleh regulasi dan pemasarannya yang ada di dalam  negri seperti yang sudah di jelaskan oleh Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Perstekstilan Indonesia ( API ) bahwa Peraturan Menteri Keuangan No.PMK 253 Tahun 2011 yang mengatur Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) menyebabkan kinerja industri TPT menurun karena eksportir TPT harus membayar pajak pertambahan nilai & membuat proses restitusi pajak yang mengganggu permodalan industri dan mengakibatkan perusahaan TPT mendapat restitusi pajak. Dari segi perusahaan kesulitan untuk memasarkan produk di dalam negri karna melonjaknya impor, sehimgga produk lokal kehilangan daya saing serta masalah krisis ekonomi global yang sedang menurun.
2.    Irma Selvyani  ( 28212140 )
Produksi industri berbasis ekspor saat ini memang mengalami penurunan ini disebabkan karena kinerja dalam bidang ekspor masih lambat. Namun, pemeribtah terus mendorong kapasitas produksi industri untuk memperbaiki penurunan ini. Selain kinerja yang lambat ada factor lain yang menyebabkan produksi industry berbasis ekspor mengalami penurunan yaitu tantangan yang dihadapi oleh industri kimia yang termasuk di dalamnya industri plastik dan karet adalah semakin ketatnya persaingan ekspor, terutama di pasar Eropa yang mengalami krisis. Hal ini tampak pada ekspor produk industri termasuk industri kimia pada semester pertama tahun 2012 yang mengalami penurunan cukup signifikan. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Karena itu, industri nasional dituntut terus meningkatkan daya saing melalui berbagai upaya efisiensi.
3.    Liberti ( 24212192 )
Melemahnya produksi industri berbasis ekspor melosot akibat adanya kinerja beberapa sektor berbasis ekspor mengalami kontraksi akibat adanya krisis global. Serta permasalahan – permasalahan  di dalam negeri yang menyebebutkan bahwa eksportir TPT harus membayar pajak penambahan nilai (ppn) di muka dan membuat proses restitusi pajak semakin lama mengganggu permodalan industri serta para pengusaha yang sulit memasarkan produkn ya karena melonjaknya impor dan kehilangan daya saing.

4. Wiwit Tri Chahyani (27212761)
Menananggapi Industri Ekspor yang melorot pemerintah seharusnya menindak lanjuti masalah internal seperti adanya regulasi yang membatasi kinerja ekspor mengingat pentingnya komuditi ekspor yang menambah pendapatan negara seharusnya pemerintah memberikan kemudahan bagi eksportir TPT bukan malah memperburuk keadaan dengan pemberlakuan membayar pajak pertambahan nilai di muka dan membuat proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri.Belum lagi persoalan produktivitas pekerja, di mana Indonesia hanya memililki produktivitas jam kerja 40 jam per minggu. Padahal, di negara lain seperti China, produktivitas jam kerjanya mencapai 48 jam per minggu. Dan yang paling memberatkan pengusaha di Indonesia setiap tahun kita harus di-pusingkan dengan persoalan. UMP (Upah Minumum Provinsi-red) yang setiap tahunnya pasti naik 6-11 persen,. 
Tak hanya itu kondisi perekonomian global yang tak kunjung memperlihatkan adanya pemulihan, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat, membuat Indonesia akan sulit menggenjot produk maupun komoditas ekspor. Kondisi ini diperburuk oleh harga komoditas ekspor yang belum stabil.mka dari itu kebijakan pemerintah yang mengurusi ekspor seharusnya ditinjau kembali.

TUGAS MINGGU KE 2

Minggu ke 2

"MANTAN PRESIDEN SOEHARTO DIUSULKANJADI PAHLAWAN NASIONAL "



        KARANGANYAR, KOMPAS.com--Sejumlah kalangan menilai Mantan Presiden Soeharto
layak menjadi pahlawan nasional Indonesia karena jasa-jasanya dalam mempertahankan
kemerdekaan dan negara kesatuan Republik Indonesia (RI).
"Banyaknya jasa dan pengabdian kepada Indonesia menjadi pertimbangan kita untuk menjadikan
Soeharto sebagai pahlawan nasional," kata dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas
Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), Warto di Karanganyar, Rabu. 
Terlepas dari sejumlah pihak yang masih mempermasalahkan sejumlah kasus hukum yang
mengaitkan Soeharto, lanjutnya, fakta di dalam sejarah Bangsa Indonesia menunjukkan bahwa
Soeharto memiliki jasa besar kepada Indonesia.

"Perjuangan Soeharto untuk Indonesia yang tercatat dalam buku sejarah bangsa ini, antara lain
pada masa revolusi fisik antara 1945 hingga 1949, pascarevolusi fisik antara 1962 hingga 1967
dan masa kepemimpinannya sebagi presiden," katanya.

"Selama masa revolusi fisik, Soeharto berjuang melawan tentara Belanda yang ingin menjajah
Indonesia lagi. Perjuangannya yang paling diingat adalah ketika merebut Yogyakarta dari
Belanda pada 1949," kata Warto yang juga merupakan Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Pascasarjana UNS.

Peran Soeharto pascarevolusi fisik, lanjutnya, adalah ketika menjadi Panglima Komando
Mandala yang memimpin perebutan Irian Barat dari Belanda.

"Selain itu, pada masa tersebut dia juga berperan dalam menyelamatkan keutuhan Indonesia
dari ancaman pemberontakan Partai Komunis Indonesia," katanya dalam Seminar
Nasional "Nasionalisme Jenderal Besar TNI (Purn) HM Soeharto" di Monumen Tien Soeharto,
Kabupaten Karanganyar.

"Konsep trilogy pembangunan nasional dengan menyeimbangkan stabilitas, pertumbuhan dan
pemerataan yang disusun Soeharto di masa kepemimpinannya sebagai presiden juga menjadi
pertimbangan dalam menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional," katanya.

Warto mengatakan, pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan fakta yang ada pada
Bangsa Indonesia sehingga pengusulan Soeharto sebagi pahlawan nasional seharusnya dilakukan
pemerintah.

Senada dengan itu, Ketua DPRD Kabupaten Karanganyar, Juliatmono mengatakan, rencana
pembangunan lima tahun (Repelita) yang menjadi salah satu program di masa pemerintahan
Soeharto merupakan bukti jasa Soeharto kepada Indonesia.

"Saya menilai Repelita merupakan program nyata yang dapat dijadikan parameter keberhasilan
pembangunan Indonesia," katanya.

Melalui Repelita tersebut, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata berjumlah
tujuh persen setiap tahun.

Menurutnya, masa pemerintahan Soeharto lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat
dibandingkan masa pemerintahan presiden-presiden lain di Indonesia.

"Oleh karena itu, kami akan mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional Indonesia. Kami
berharap pertimbangan-pertimbangan mengenai kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional
dapat disetujui Badan Pahlawan Pusat, Menteri Sosial maupun Presiden Republik Indonesia,"
katanya.

Juliatmono mengatakan, pengusulan ini dilakukan untuk menghargai jasa-jasa yang telah
diberikan Soeharto kepada negara ini.

Sumber : http://oase.kompas.com/read/2009/07/30/0134056/
Mantan.Presiden.Soeharto.Diusulkan.Jadi.Pahlawan.Nasional



Komentar- komentar
1.    Ika andani ( 23212571 )
Menurut pendapat saya, untuk menjadikan soeharto sebagai pahlawan nasional indonesia memang merupakan hal yang baik dan wajar. Karena memang pada kenyataannya selama ini  presidan  indonesia ke 2 tersebut telah menin ggalkan jasa-jasa besar dan pengabdian dalam mempertahankan negara republik indonesia ini. B anyak sekali perjuangan yang telah dilakukannya seperti pada massa revolusi fisik & pasca revolusi fisik, perebitan yogyakarta dari belanda, perebutan irian barat  untuk menyelamatkan keutuhan indonesia dari pemberontakan partai komunis nasional.
pada saat pemerintahannya soeharto sebagai presiden indonesia ke 2 ini mengabdi kepada bangsa, negara dan rakyat. Soeharto telah dipandang sebagai orang yang telah berjasa dalam mengangkat bahsa ini dari keterpurukan ekonomi pada masa orde lama melalui kekuasaan yang di genggamnya selama 31 tahun ia sempat membuat indonesia maju dan di kagumi negara-negara lain . tetapi di akhir masa pemerintahannya soeharto mema ng melakukan kesalahan, tetapi kesalahan itu tidak menghapuskan jasa-jasanya yang telah dibuat olehnya selama ini dan memang kekuasaan soeharto dalam perekonomian rakyat indonesia tumbuh dangan pesat nya. Serta dalam segi keamanan  soeharto sering bertindak tegas sehingga sehingga pada jaman kepemimpinannya tidak ada tindakan sparatis yang dilakukan oleh teroris maupun kelompok bersenjata yang mengganggu ketenangan rakyat.


2.    Irma Selvyani  ( 28212140 )
Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasioanl merupakan suatu penghargaan bagi Pak Harto atas jasa – jasa bagi Indonesia. Selama masa pemerintahannya banyak terjadi perubahan di Indonesia khususnya dalam bidang perekonomian. Selama 31 tahun menjabat sebagai presiden RI Pak Harto membuat perubahan yang luar biasa bagi Indonesia. Bagi sebagian masyarakat di zaman Soeharto, kehidupan memang tidak sesulit sekarang. Kini, harga – harga mahal, bahkan kebutuhan pokok sungguh teramat mahal.
Namun, pada tahun 1984 Soeharto berhasil mengubah Indonesia dari negara terbesar dalam mengimpor beras, akhirnya menjadi negara berswasembada pangan. Lebih dari 3 juta ton padi dihasilkan setiap tahunnya. Bandingkan dengan sekarang yang justru defisit lebih dari 1 juta ton setiap tahun. Jadi, sudah selayaknya Soeharto dijadikan sebagai salah satu pahlawan nasional mengingat betapa besar jasanya untuk mengubah perekonomian di Indonesia.

3.    Liberti ( 24212192 )
Presiden kedua republik indonesia adalah soeharto telah banyak meninggalkan jasa-jasa dan pengbdian kepada republik indonesia ini serta mempertahan kemerdekaan . banyyak perjuangan yan g telah dilakukan oleh soeharto yaitu pada masa revolusi fisik antara tahun 1945-1949, pasca revolusi tahun 1962-1967, perjuangan melawan belanda yang menjajah indonesia di daerah-daerah seperti yogyakarta dan irian barat.
pada masa kepemimpinan beliau juga mampu memajukan pembangunan nasional dengan menyeimbangkan stabilitas, pertumbuhan & pemerataan, serta pada massa kepemimpinannya soeharto lebih berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Iya mampu membangun dalam bidang pangan dan keamanan serta iya telah sukses dalam program kependudukan & keluarga berencana.

 4. Wiwit Tri Chahyani (27212761)

Pak Harto adalah sebuah legenda. Sebuah fenomena. Sebuah potret perjalanan sejarah bangsa ini. Sejarah ketokohan, sekaligus kepemimpinan yang mampu memberikan pelajaran berharga pada kita semua. Sejarah bangsa, komplet dengan warna hitam putihnya. Bahwa, selain kelemahan dan kekurangan yang telah banyak ditulis orang terdapat pula sisi kekuatan dan kelebihan yang perlu juga ditulis dan dikemukakan. 
Dan ini berlaku juga dalam menyikapi Pak Harto. Sosok yang fenomenal lantaran ia punya arti penting bagi perjalanan sejarah kepemimpinan bangsa ini. Suka atau tidak, banyak jasa dan pengabdian yang telah dia berikan. Banyak hasil yang telah dicapai. Bahkan, secara faktual tak bisa diingkari bahwa orang-orang yang kini tengah memimpin dan menonjol di negeri ini adalah orang-orang Orde Baru. Orang-orang yang pernah bergerak dalam sistem dan tatanan sebuah Orde di bawah kepemimpinan Pak Harto. Masa dimana pembangunan terus menerus dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bangsa selama Pak Harto menjabat sebagai Presiden RI selama 32 tahun, banyak sekali jasa dan pengabdiannya kepada bangsa Indonesia. Sebagai anak Bangsa, tentu ada saja kekhilafan yang dilakukan Pak Harto saat memimpin lebih dari 200 juta penduduk ini.
Akan tetapi bila dibandingkan dengan jasa, pengabdian dan amal bhakti beliau kepada bangsa dan negara Indonesia tentu harus diakui pula bahwa Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia telah banyak memberikan hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat hingga kini, Pak Harto saat menjabat Presiden nama Indonesia harum dimata dunia Internasional, berbagai penghargaan baik didalam maupun diluar negeri diraihnya. Seperti penghargaan atas keberhasilan Pak Harto dibidang swasembada beras oleh FAO, salah satu organisasi milik Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Selain itu banyak jasa jasa lain yang dilakukan oleh pak harto saat ia menunpas G30 S/ PKI 
Salah satu jasa besar Pak Harto yang tak bisa dilupakan adalah ketika ia menumpas PKI. Berawal dari kejadian G-30/S-PKI. Sebuah pemberontakan yang didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30 Sepetember 1965.
Bicara tentang Pak Harto sama halnya bhcara sejarah Indonesia. Pak Harto tak dapat dipisahkan dengan pembangunan sebab memang di era Pak Harto pembangunan dilaksanakan. Pak Harto mengedepankan pembangunan dengan dua landasan yaitu industri dan pertanian mengolah tanah sebagai sumber devisa. Beliau ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agraris yang gemah ripah loh jinawi.mengingat semua jasa jasanya jadi pantaslah jika mantan presiden RI ke 2 itu diusulkan menjadi pahlawan Nasional








Jadilah manusia pembelajar



Suatu ketika saya pernah melihat bagaimana anak kecil belajar berjalan ditemai kedua orang tuanya, cukup lama saya memperhatikan bagaimana anak kecil itu mulai berjalan dari awal ketika dia berjalan masih di tuntun oleh ayahnya hingga dilepas agar anak itu berani belajar berjalan sendiri, saya perhatikan kurang lebih kira kira anak itu berumur 1 tahun lebih. Sejenak saya terdiam dan berfikir cukup lama sambil memperhatikan anak kecil itu belajar berjalan mulai dari dituntun, akhirnya dilepas, terduduk dan jatuh kemudian menangis, luka, tapi dia tak lelah dan tak menyerah dalam mencoba sampai akhirnya anak itu tertawa dengan riang dan puas ketika mampu berjalan hingga akhirnya tanpa sadar anak itu mampu berlari kearah ibunya dan lari kembali kearah ayahnya dengan semangat. 

Pengamatan ini secara sederhana mampu membuat saya berfikir dan lebih meyakinkan bahwa memang hakikat manusia adalah belajar, dari masa kanak kakak manusia selalu belajar, ketika kanak-kanak manusia belajar berjalan, berlari, berbicara, bersosialisasi, belajar berbagai macam permainan yang ada, memasuki fase remaja manusia belajar memahami dan menjadi seseorang manusia seutuhnya, belajar berbagai macam pelajaran yang mampu membuat dia lebih tau dan siap dalam menjalani kehidupannya, belajar tentang banyak rasa emosi, kekecewaan, kesenangan, tanggung jawab dan cinta. Kemudian memasuki fase kehidupan sebagai dewasa dia harus belajar bijak dan belajar menjadi teladan untuk setiap orang disekitarnya. 

Sempat berfikir, apa jadinya jika manusia melupakan dan tidak memperdulikan hakikatnya sebagai seorang pembelajar, mungkin anak anak yang sedang belajar berjalan akan berkata kepada orang tuanya “Ayah, mama udah ah aku nyerah , ga mau belajar jalan lagi”, lalu ketika masa usia remaja melupakan tugasnya sebagai manusia pembelajar maka remaja itu akan cenderung memnfaatkan waktu mudanya untuk bersenang-senang, berbuat sesuka hati dan mementingkan egonya agar setiap keinginannya terpenuhi, mereka akan berkata “ahh, mumpung kita masih muda, jadi manfaatin waktu itu buat senang-senang bro !!” dan mungkin ketika fase dewasa manusia itu akan menjadi manusia yang serakah, suka bersikap sewenang-wenang dan tak mau mengalah, merasa dirinya paling benar karena sudah banyak pengalaman dan lebih lama menjalani kehidupan, secara sadar atau tidak sadar mereka akan berkata “udah lah, saya lebih tau dan pengalaman dari kamu, umur masih seumuran jagung aja mau ngajarin atau nasehatin saya”. Aneh dan lucu juga sebenarnya tapi ini menegaskan bahwa belajar merupakan kebutuhan hidup manusia. 

Manusia dan hasratnya 

Berbicara tentang belajar, tentu yang akan dipelajari adalah sebuah Ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan itu hakikatnya berwal pada kekaguman manusia akan alam yang dihadapinya. Dengan sifat dasar manusia sebagai animal rational yang dibekali hasrat ingin tahu. Sifat ingin tahun manusia telah disaksikan sejak manusia masih kanak-kanak. Pertanyaannya sederhana, seperti pertanyaan pertanyaan “apa ini”, “itu apa” telah keluar dari mulut kanak- kanak. Kemudian timbul pertanyaan “mengapa begini, “mengapa begitu” dan sebagainya. Bentuk bentuk pertanyaan seperti itu juga selalu ditemukan disepanjang sejarah manusia. Dan manusia diberikan akal pikiran sehingga manusia mau mencari jawaban atas setiap pertanyaan dan akhirnya mampu menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan itu. Dari dorongan hasrat ingin tahu itulah manusia belajar sesuatu. 

Jadilah manusia pembelajar 

“Setiap orang adalah guruku, setiap tempat adalah sekolahku dan setiap waktu adalah waktu belajarku”. 

Sebuah kutipan yang menjadi motto hidup seorang senior di kampus yang sampai saat ini masih saya ingat dengan jelas masih saya ingat. Dan kata-kata itu secara cukup sederhana saya artikan sendiri dalam hidup bahwa menjadikan motto hidup sebagai setiap orang yang kita temui sebagai guru kita, artinya kita bisa belajar apapun dari tiap orang baik itu sifat ataupun sikap dari seseorang agar kita bisa termotivasi dan terinspirasi untuk berbuat kebaikan dan juga belajar dari keburukan seseorang agar kita tak mengulangi kesalahan yang sama seperti orang yang dimaksudkan. Setiap tempat adalah sekolaku yang menjadi landasan bahwa harusnya kita bisa belajar mengamati sekitar dari setiap kejadian yang ada sampai akhirnya kita mampu menciptakan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Dan setiap waktu adalah waktu belajarku, dimana memang seharusnya kita memanfaatkan tiap-tiap waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya untuk belajar. 

Kadang kita melewati berbagai macam situasi dan kondisi yang menuntut kita agar mampu dengan cepat dan tepat dalam menghadapi tiap masalah yang akan kita hadapi, hal ini akan mudah ketika kita paham akan tugas kita menjadi manusia pembelajar, namun hal ini akan menjadi sulit karena kebanyakan kita terkadang lupa akan tugas dan hakikat kita sebagai manusia pembelajar, maka dari itu jadilah manusia pembelajar

15 tahun reformasi Indonesia


Ditulis oleh Dr Adian Husaini

Tak lama lagi, era reformasi Indonesia yang dimulai bulan Mei 1998 akan memasuki masa 15 tahun. Berbagai prestasi dan kegagalan tentu saja mewarnai perjalanan reformasi. Perubahan yang sangat mencolok adalah terciptanya era kebebasan dalam berbagai bidang. Sejalan dengan kemajuan pesat di bidang komunikasi, khususnya media online dan elektronik, berbagai aspirasi ideologis bermunculan secara bebas. 

Reformasi yang berjalan 15 tahun telah memunculkan berbagai perubahan pandangan dan sikap. Yang dulu kawan dalam politik, sekarang menjadi lawan. Dulu dibenci dan dicaci maki dimana-mana, sekarang mulai dipahami, bahkan dipuja-puji. Ada yang dulu benci Soeharto setengah mati, tapi kemudian mengusulkan Soeharto jadi pahlawan negara ini. Partai Golkar yang dianggap sebagai salah satu komponen utama Orde Baru sempat menjadi bahan cercaan dan hujatan. Kini, dalam berbagai survei, elektabilitas Golkar justru yang tertinggi. 

Bahkan, pada bulan September 2010, di berbagai pelosok Jakarta bermunculan poster bergambar mantan Presiden Soeharto sedang tersenyum, sambil berucap: “Piye Kabare? Enak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya? Enak zaman saya kan?). Ternyata, poster seperti itu, bermunculan di berbagai kota. Dalam berbagai acara talk show saat krisis BBM, kenaikan harga beras, bawang, minyak goreng, dan sebagainya, biasanya ada yang menyebut-nyebut, bahwa di masa Pak Harto lebih baik kondisinya. 

Apa pun komentar orang, faktanya, reformasi telah memberikan ruang kebebasan yang sangat luas di berbagai bidang. Keterbukaan yang sangat besar di bidang politik telah membuka ruang bagi munculnya elite-elite politik dan ekonomi baru yang menikmati kekuasaan, popularitas, dan juga akses-akses kekayaan. Sebagian ilmuwan berhasil memanfaatkan keterbukaan politik dan sistem pemilihan langsung Presiden dan kepala daerah dengan membentuk lembaga-lembaga survei yang berhasil meraih posisi strategis di bidang politik dan sebagian bahkan menghasilkan keuntungan berlimpah. Itu antara lain, kesempatan yang tidak ternikmati di masa Orde Baru. 

Walhasil, reformasi di Indonesia selama 15 tahun ini telah menghasilkan iklim kebebasan (liberal) yang sangat luas di berbagai bidang kehidupan. Tentu saja, dalam kebebasan dan kemanfaatan yang diraih oleh sebagian orang, ada efek samping dan dampak buruk yang dilihat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat lainnya. Dalam berbagai bidang, dampak buruk ini begitu nyata, sehingga mulai meresahkan. 

Reformasi Gagal? 

Jadi, patutlah kita bertanya, “Berhasil atau gagalkah reformasi?” Tanpa ragu-ragu, berbagai pihak yang aktif memelopori gerakan reformasi sudah berteriak: “Reformasi memang gagal!” Pada 16 Mei 2011 lalu, situs www.kompas.com, menurunkan berita berjudul “Gerakan Reformasi Gagal”. Disebutkan, “Gerakan reformasi politik dan pemerintahan yang telah berjalan selama sekitar 13 tahun dianggap gagal. Mayoritas masyarakat tidak merasakan ada perbaikan signifikan dalam bidang politik, pemerintahan, dan perekonomian.” 

Kesimpulan itu didasarkan pada hasil survei nasional yang dilakukan Indo Barometer. Pada April-Mei 2011 dengan 1.200 responden di 33 provinsi. Hasilnya: : 55,4 persen menyatakan tidak ada perubahan kondisi bangsa sebelum dan sesudah reformasi. Hanya 31 persen menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. ”Bisa dikatakan, hanya 1 dari 3 responden yang menganggap kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan kondisi 13 tahun lalu,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam jumpa wartawan di Jakarta, (15/5/2011).

Hasil lainnya: sekitar 55 persen mengaku tidak puas dengan reformasi. Hanya 29,7 persen menyatakan puas terhadap pelaksanaan reformasi. Masyarakat menganggap masih banyak tuntutan dan amanat reformasi yang belum terpenuhi, terutama tuntutan perubahan di bidang hukum, hak asasi manusia, dan ekonomi. Tak hanya itu. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono juga terus anjlok. Pada Juli 2009 kepuasan publik terhadap kinerja Presiden/Wapres masih mencapai 90,4 persen. Awal 2010. kepuasan publik turun menjadi 74,5 persen. Pada Agustus 2010, tinggal 50,9 persen. Bulan Mei 2011 tingkat kepercayaan masyarakat menurun lagi menjadi 48,9 persen.

Ekonom Faisal Basri, menyatakan, kegagalan paling mencolok pascareformasi terjadi di bidang ekonomi. Pengangguran dan kemiskinan makin tinggi meski pemerintah melansir angka pengangguran dan angka kemiskinan mengalami penurunan. Hal itu kemungkinan yang membuat rendahnya kepuasan masyarakat terhadap reformasi. ”Kalau ini dibiarkan, reformasi akan menjadi Orde Baru jilid II,” ujarnya.

Pada 12 Mei 2012, Kantor Berita Radio Nasional menurunkan berita yang menyebutkan: “Hari ini 12 Mei 2012 genap 14 tahun reformasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Gerakan reformasi tidak hanya mampu melengserkan rezim Soeharto dan kroni-kroninya namun juga menjadi angin segar untuk perubahan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Reformasi yang harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban tewas dari masyarakat sipil, kini dianggap gagal total. Agenda reformasi diantaranya adalah tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN, tidak berjalan sebagai mana mestinya. Korupsi semakin menggurita dan penegakkan hukum masih pandang bulu.” (http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/18714).

Pada 13 September 2012, Mantan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Adhyaksa Dault melancarkan bukunya yang bertajuk 'Menghadang Negara Gagal (Sebuah Ijtihad Politik). Dalam bukunya, Adhyaksa mengungkapkan hasil penelitian dari organisasi Fund for Peace pada tahun 2011, yang mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara dalam zona berbahaya. Dari penelitian itu, Indonesia ditempatkan pada peringkat 63 dari 178 negara. Berarti turun satu tingkat dari tahun 2011. Sebaliknya, negara-negara di kawasan ASEAN, menempati posisi yang lebih baik, seperti Singapura (posisi nke-157), Malaysia (posisi ke-110), dan Thailand (posisi ke-84). 

Salah satu sektor yang menikmati kebebasan besar di era reformasi adalah sektor media massa. Kebebasan di sektor ini begitu besar, sehingga nyaris tiada batas lagi. Namun, lagi-lagi, kebebasan yang nyaris tak terbatas ini pun akhirnya menuai kritik di kalangan internal pers sendiri. Pada 9 Desember 2010, www.republika.co.id menyiarkan berita bertajuk “Kebebasan Pers di Indonesia Dinilai Over Dosis.” Menurut pakar Komunikasi Politik Nasional, Prof Dr Tjipta Lesmana, dibandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, kebebasan pers di Indonesia adalah yang paling besar dan bahkan seolah-olah tidak memiliki batasan.

Di bidang politik, sistem pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) mulai dipertanyakan kebaikannya. Pada 7 Maret 2013, www.republika.co.id melaporkan, adanya 222 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Padahal, biaya untuk memilih seorang kepala daerah secara langsung sangatlah mahal, mencapai puluhan sampai ratusan milyar rupiah. 

Lingkaran Setan 

Reformasi telah bergulir, dan telah menyeret Indonesia ke pusaran “Lingkaran setan” liberalisme dalam berbagai bidang. Kondisi seperti ini sangat pelik. Kebebasan informasi telah mengubah pola pikir dan perilaku banyak warga bangsa, khususnya anak-anak muda-remaja kearah pola hidup hedonis yang serba permisif dan menjadikan para selebritis sebagai idola kehidupan. Dunia politik pun terimbas. Partai-partai politik seperti berlomba merangkul para artis terkenal, untuk meraih suara dari masyarakat. 

Ketika digulirkan, jargon reformasi menumbuhkan banyak harapan di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagaimana biasa dalam setiap peristiwa tumbangnya suatu rezim, muncul suatu euphoria dan semangat melawan segala sesuatu yang berbau rezim lama. Apapun yang berbau rezim sebelumnya seolah-olah salah. Rezim lama menjadi momok. Siapa pun jika dicitrakan sebagai bagian dari rezim lama, akan menghadapi suatu proses deligitimasi sosial politik yang sulit dikendalikan.

Seperti diektahui pada era akhir dekade 1980-an, rezim Orde Baru mengubah pendekatannya kepada umat Islam dari pola antagonistik menjadi pola akomodatif yang ditandai dengan penyerapan (akomodasi) berbagai aspirasi Islam ke dalam sistem dan kehidupan kenegaraan. Sebagai contoh adalah dicabutnya larangan berjilbab di sekolah-sekolah umum, didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), didirikannya Bank Muamalat Indonesia, juga disahkannya sejumlah Undang-Undang yang sebelumnya ditentang habis-habisan oleh kelompok non-Islam dan sekuler: seperti UU Peradilan Agama (No. 7 tahun 1989), UU Pendidikan Nasional (No. 2 tahun 1989), UU Perbankan (No.7 tahun 1992) yang mengakomodasi Bank Syariah, dan sebagainya.

Terlepas dari motif politiknya, politik akomodatif rezim Orde Baru merupakan hal yang positif dan disambut oleh kalangan Islam, yang selama dua dekade sebelumnya menjadi obyek deislamisasi dan sekulerisasi rezim Orde Baru. Sayangnya rezim Orde Baru gagal memperbaiki dirinya dalam soal kebobrokan demokrasi dan ketidakadilan ekonomi. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah menjadi kanker ganas yang sulit disembuhkan. Pondasi ekonomi negara yang rapuh akhirnya tidak mampu menahan serangan badai krisis moneter dan ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis itulah yang kemudian semakin merajalela dan berujung pada tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tentu saja tumbangnya Soeharto disambut dengan suka cita saat itu. Kehidupan politik semakin bergairah. Sistem politik Orde Baru yang serba tertutup, monolitik dan sentralistik digugat habis-habisan. Era reformasi dan demokratisasi dicanangkan dan terus digelindingkan. Berbagai jenis paham pemikiran bebas berkeliaran di benak publik. Penguasaan akses-akses informasi yang sangat kuat di tangan non-muslim dan kaum sekular menyebabkan semakin maraknya paham-paham sekuler-liberal di tengah masyarakat. Pada era seperti inilah, berbagai benih paham sesat dengan leluasa dan tanpa banyak rintangan tersebar dan bersemi di tengah masyarakat Muslim Indonesia. 

Salah satu paham yang sangat marak menyebar di Indonesia di era reformasi adalah paham liberalisme di kalangan umat Islam, yang dikenal sebagai paham “Islam liberal”. Paham ini telah sangat meresahkan umat Islam Indonesia, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham SEKULARISME, PLURALISME, DAN LIBERALISME – yang kemudian dikenal dengan singkatan paham “Sipilis”. Cakupan paham ini sangat luas, meliputi liberalisasi di bidang aqidah, al-Quran, dan syariat Islam. 

Kebebasan Kebablasan

Di era reformasi, isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin ramai digunakan untuk menyuarakan berbagai jenis kebebasan. Sayangnya, isu HAM ini seringkali digunakan untuk menjadi dasar penyebaran paham sesat dan penetapan peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, tahun 2010, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendukung dicabutnya Undang-undang (UU) No 1/PNPS/1965, sebab UU tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 18 tentang Kebebasan Beragama. 

Padahal, UU No 1/PNPS/1965 mengatur tentang penodaan agama di Indonesia. Menurut UU ini, sesiapa saja yang melakukan penafsiran atas ajaran agama yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok suatu agama yang diakui di Indonesia (enam agama: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu), maka dinyatakan telah melakan pidana (jinayat) dan dapat dipenjara selama lima tahun. 

Jika UU No. 1/PNPS/1965 itu dicabut, maka berbagai aliran sesat mendapatkan peluang yang makin besar untuk berkembang di Indonesia. Kita berharap, para aktivis HAM bersedia meletakkan al-Quran lebih tinggi ketimbang kitab Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga tidak meletakkan prinsip kebebasan tanpa batas, sampai melanggar ajaran Islam. Alhamdulillah, gugatan kaum liberal itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga UU No 1/PNPS/1965 tetap berlaku. 

Meskipun gagal dalam mendukung pembatalan UU No 1/PNPS/1965, Komnas HAM masih melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip HAM sekuler, misalnya dalam memperjuangkan hak tiap warga negara untuk melakukan praktik perkawinan sejenis (homoseks dan lebisn) dan melakukan perkawinan beda agama. Komnas HAM telah secara terbuka mendukung praktik nikah beda agama (NBA). Tahun 2005, bekerjasama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Komnas HAM menerbitkan sebuah buku berjudul: Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (editor: Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso). Tahun 2010, buku ini diterbitkan lagi untuk edisi kedua.

“Bagi ICRP, pernikahan adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dirintangi oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun, sepanjang di dalamnya tidak ada unsur pemaksaan, eksploitasi, dan diskriminasi,” tulis Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Ketua Umum ICRP. 

Komnas HAM meminta Kementerian Agama untuk mengimplementasikan penghapusan praktik segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan. Komnas HAM juga meminta agar Kompilasi Hukum Islam (KHI) No. 1 tahun 1991 dirumuskan ulang, sehingga dapat mengakomodasi pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non-muslim. 

Atas nama HAM, Komnas HAM juga memberikan dukungan terhadap gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT). Tahun 2006, pakar HAM internasional yang berkumpul di Yogyakarta menghasilkan “Piagam Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang mendukung pelaksanaan hak-hak kaum LGBT. 

****

Walhasil, menjelang 15 tahun perjalanan reformasi, kita kaum Muslim Indonesia, patut merenungkan dengan serius dan mengevaluasi apa yang telah dan sedang terjadi. Salah satu pelajaran penting: tidak sepatutnya kita dipatuk ular pada lobang yang sama. Seyogyanya tokoh-tokoh Muslim menentukan sendiri tujuan, sasaran, konsep, dan agenda-agenda perubahan, sesuai dengan amanah risalah Nabi Muhammad SAW. Tidaklah patut kaum Muslim terjebak lagi ke dalam agenda yang seolah-olah menjanjikan kebebasan dan kemajuan, padahal jelas-jelas merusak masyarakat dan mengadu domba sesama Muslim. 

Jargon-jargon reformasi yang digulirkan kadang tampak indah. Tapi, makna “reformasi” itu sendiri tidaklah jelas acuannya. Bagi Muslim, reformasi – atau perubahan apa pun – akan sia-sia jika tidak berdasarkan pada konsep Tauhid dan bertujuan membentuk manusia dan masyarakat yang adil dan beradab. Umat Islam jangan sampai tertipu dengan jargon dan janji-janji “reformasi” yang ternyata membawa agenda liberalisasi di berbagai bidang. 

Orang Muslim yang paham dan sadar akan agenda-agenda liberalisasi, pasti tidak rela menukar iman dan kedaulatan negaranya dengan kebebasan dan kenikmatan duniawi yang semu. Wallahu a’lam bish-shawab

Ketika kita dipimpin seorang peragu



Di Sumatera Selatan kantor polisi diserbu tentara, di Yogyakarta militer menyerbu penjara dan membunuh tahanan. Karena pemimpin kita seorang peragu?

Revolusi Perancis meletus pada 1789, ketika negeri itu diperintah Louis XVI. Padahal para ahli sejarah mencatat raja ini bukanlah yang paling lalim dibanding raja-raja sebelumnya. Tapi itulah, dibanding Louis XV, kakeknya yang digantikannya, Louis XVI adalah seorang peragu (indecisiveness). 

Sikap peragu itu menyebabkan rakyat Perancis yang terpuruk karena negaranya ditimpa krisis utang dan keuangan melihat bahwa raja inilah bersama istrinya, Maria Antoinette, sumber segala bencana. Maka kerusuhan rakyat pun meletus di Paris, benteng Bastille diserbu, dan revolusi Perancis yang terkenal itu dimulai.

Di ujung cerita raja ini harus mengakhiri hidupnya di bawah tebasan pisau guillotine, Januari 1793. Tragis. Padahal raja inilah yang berjasa memperbaiki hubungan antar-agama sehingga orang-orang Kristen bisa hidup di negara Katolik itu.

Soal sikap peragu, agaknya Louis XVI sama dengan Presiden SBY. Purnawirawan berbintang empat itu sejak muda dikenal di kalangan temannya sebagai seorang yang cerdas, fasih berbahasa Inggris, tapi selalu ragu dalam bertindak. Terutama untuk tindakan yang potensial berisiko tinggi.

Karena sikap peragunya itulah gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) beberapa waktu lalu sempat dikepung polisi. Sampai sekarang hubungan institusi kepolisian dengan KPK tetap meruncing untuk kemudian suatu saat akan meledak.

Selain peragu, Presiden SBY terkenal suka mengejar populeritas. Dalam perseteruan polisi – KPK tadi, misalnya, Presiden hanya mengejar popularitas dirinya, tanpa menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Untuk itulah ia berpihak ke KPK sekaligus memojokkan polisi.

Dengan Presiden yang peragu ini maka pemberantasan korupsi di Indonesia pun berlangsung tak karuan. Bukti kekonyolan itu bisa dilihat bagaimana korupsi di Indonesia terus merajalela dan menempati peringkat di atas100 dunia. Peringkat negara tetangga kita seperti Malaysia dan Filipina jauh lebih baik. Apalagi Singapore, tetangga yang tergolong salah satu negara paling bersih dari korupsi di dunia bersama beberapa negara Skandinavia.

Padahal dulu Presiden SBY berjanji di hadapan rakyat bahwa dia akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. Sampai sekarang janji itu belum juga dipenuhi. Bahkan SBY sendiri tampaknya sudah melupakan janji yang ia ucapkan sendiri di hadapan rakyat itu.

Tapi begitulah SBY. Suatu kali dia bicara secara terbuka agar para Menteri fokus bekerja untuk rakyat, jangan hanya sibuk mengurusi partai menjelang pemilihan umum ini. Tapi kemarin, 30 Maret 2013, seluruh rakyat bisa menyaksikan sendiri betapa Presiden SBY bersedia diangkat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum, melalui Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Bali, 30-31 Maret 2013.

Dengan itu seluruh jabatan penting partai itu sekarang berada di tangannya: Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan, dan kini Ketua Umum. Yang pasti, kita akan menyaksikan betapa jabatan Presiden dan Ketua Umum Partai Demokrat sulit dibedakan di tangan SBY.

Juga fasilitas jabatan Presiden yang dibiayai rakyat akan berhimpitan dengan fasilitas Ketua Umum Partai. Begitu pula 2 menteri yang diangkat SBY menjadi Pengurus Harian Partai Demokrat. Rupanya terlalu besar harapan para pengurus daerah partai itu bahwa perolehan suara dalam Pemilu 2014 akan meningkat bila SBY dan para menterinya memimpin partai itu. Padahal satu hal yang pasti di hadapan rakyat: ucapan dan tindakan Presiden SBY sebagai pemimpin saling bertolak belakang.

Omong Kosong Pemberantasan Korupsi

Para pemimpin Partai Demokrat lupa bahwa partai mereka dan SBY amat populer dalam Pemilu 2009 karena isu korupsi. Ketika itu rakyat percaya bahwa SBY dan partai yang dipimpinnya akan membersihkan korupsi dari bumi Indonesia. Soalnya, pada waktu itu SBY selalu bicara bahwa ia akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.

Kemudian partai itu pun muncul dalam iklan gencar yang bertema pemberantasan korupsi. Anda tentu masih ingat, yang ditampilkan sebagai bintang iklan ketika itu adalah Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum.

Sekarang rakyat sudah tahu janji Presiden SBY untuk memberantas korupsi itu adalah omong kosong belaka. Untuk itu SBY harus bertanggungjawab. Lalu, iklan anti-korupsi itu kini justru menjadi serangan balik untuk Partai Demokrat.

Betapa tidak? Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat dan anggota DPR, yang di dalam iklan berteriak-teriak bilang ‘’tidak’’ pada korupsi, sekarang berada dalam penjara justru karena terlibat korupsi. Sedang Anas Urbaningrum, bintang iklan lainnya dan Ketua Umum Partai Demokrat, kini sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang oleh KPK. Anas kemudian membongkar bahwa sebagian dana Hambalang juga mengalir ke putra SBY, Ibas dan beberapa tokoh lainnya.

Bagaimana mungkin rakyat bisa berharap Presiden SBY akan memimpin sendiri pemberantasn korupsi di Indonesia, kalau kasus korupsi Bank Century mulai menyenggol namanya? Kasus Bank Century tak kepalang tanggung, telah merugikan negara Rp 6,7 trilyun.

Ketika peristiwa itu terjadi, Wakil Presiden Budiono menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). Melalui perkenannyalah, antara lain, rupiah mengalir sampai trilyunan rupiah dari BI yang dipimpinnya ke bank kecil dan sakit itu. Dari sana dana itu bocor ke mana-mana. Antara lain, disebutkan untuk kampanye Pemilu 2009.

Yang pasti, dalam Pemilu lalu secara mencengangkan SBY menunjuk Budiono sebagai calon Wakil Presiden. Padahal sebelumnya tak ada yang meramalkan jabatan itu akan diberikan kepada Budiono, seorang birokrat bank yang tak terkenal dan belum pernah berpengalaman dalam politik.

Yang pasti dalam Pemilu 2014 mendatang, SBY dengan segerobak jabatannya di Partai Demokrat tak akan bisa lagi menggunakan isu anti-korupsi. Malah sebaliknya, dari sekarang SBY dan para pengurus inti partainya harus bersiap-siap untuk menjelaskan isu korupsi yang mewabah di Indonesia di bawah pemerintahan yang dipimpinnya. Dan itu tak gampang.

Banyak pendapat mengatakan karena isu korupsi yang melanda partai itu, dalam berbagai survei elektabilitas Partai Demokrat anjlok tinggal 7 atau 8 persen saja. Padahal dalam Pemilu 2009, partai ini beroleh suara hampir 21 persen.

Apalagi sikap Presiden SBY yang peragu menyebabkan berbagai masalah sulit diatasi. Misalnya, soal hubungan polisi dan militer yang belakangan tambah merepotkan.

Masalah pokoknya, selama 32 tahun Orde Baru, institusi kepolisian dan militer berada dalam satu atap dipimpin seorang Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata). Ketika itu, kepolisian digolongkan angkatan bersenjata.

Setelah reformasi 1998 (gerakan yang dibiayai pemerintah Amerika Serikat melalui US-AID), polisi berdiri sendiri terpisah dari TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tapi sekarang hubungan kedua institusi itu menjadi rawan. Tampaknya besar kecemburuan militer pada polisi yang sekarang sangat berkuasa (dan karenanya menguasai sumber dana).

Maka 7 Maret malam yang lalu, puluhan tentara berseragam menyerbu kantor Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Mereka membakar kantor Polres serta menyerang anggota polisi yang berjaga. Peristiwa ini disebabkan ketidak-puasan anggota militer atas peristiwa sebelumnya: teman mereka ditembak seorang polisi lalu lintas.

Tapi lebih mengerikan lagi peristiwa yang terjadi 23 Maret dinihari yang lalu, ketika sekitar 17 pasukan bersenjata menyerbu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Mereka melukai beberapa petugas Lapas, lalu masuk mencari 4 tahanan yang terlibat pengeroyokan Sersan Satu Santoso, anggota kesatuan militer di sana. Pengeroyokan itu terjadi di Hugo’s Café, Yogyakarta.

Setelah menemukannya, pasukan ini menghabisi 4 tahanan dengan senjata api yang mereka bawa. Luar biasa. Peristiwa seperti adegan film laga ini tampaknya baru pernah terjadi hanya di Indonesia.

Dan seperti biasa, karena bukan kisah sukses, maka Presiden SBY sedikitkan tak mengomentari peristiwa yang sangat memalukan ini. Tapi begitulah, peristiwa seperti ini tampaknya akan terus terjadi di bawah seorang pemimpin yang peragu. 

Ketika kita dipimpin seorang peragu



Di Sumatera Selatan kantor polisi diserbu tentara, di Yogyakarta militer menyerbu penjara dan membunuh tahanan. Karena pemimpin kita seorang peragu?

Revolusi Perancis meletus pada 1789, ketika negeri itu diperintah Louis XVI. Padahal para ahli sejarah mencatat raja ini bukanlah yang paling lalim dibanding raja-raja sebelumnya. Tapi itulah, dibanding Louis XV, kakeknya yang digantikannya, Louis XVI adalah seorang peragu (indecisiveness). 

Sikap peragu itu menyebabkan rakyat Perancis yang terpuruk karena negaranya ditimpa krisis utang dan keuangan melihat bahwa raja inilah bersama istrinya, Maria Antoinette, sumber segala bencana. Maka kerusuhan rakyat pun meletus di Paris, benteng Bastille diserbu, dan revolusi Perancis yang terkenal itu dimulai.

Di ujung cerita raja ini harus mengakhiri hidupnya di bawah tebasan pisau guillotine, Januari 1793. Tragis. Padahal raja inilah yang berjasa memperbaiki hubungan antar-agama sehingga orang-orang Kristen bisa hidup di negara Katolik itu.

Soal sikap peragu, agaknya Louis XVI sama dengan Presiden SBY. Purnawirawan berbintang empat itu sejak muda dikenal di kalangan temannya sebagai seorang yang cerdas, fasih berbahasa Inggris, tapi selalu ragu dalam bertindak. Terutama untuk tindakan yang potensial berisiko tinggi.

Karena sikap peragunya itulah gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) beberapa waktu lalu sempat dikepung polisi. Sampai sekarang hubungan institusi kepolisian dengan KPK tetap meruncing untuk kemudian suatu saat akan meledak.

Selain peragu, Presiden SBY terkenal suka mengejar populeritas. Dalam perseteruan polisi – KPK tadi, misalnya, Presiden hanya mengejar popularitas dirinya, tanpa menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Untuk itulah ia berpihak ke KPK sekaligus memojokkan polisi.

Dengan Presiden yang peragu ini maka pemberantasan korupsi di Indonesia pun berlangsung tak karuan. Bukti kekonyolan itu bisa dilihat bagaimana korupsi di Indonesia terus merajalela dan menempati peringkat di atas100 dunia. Peringkat negara tetangga kita seperti Malaysia dan Filipina jauh lebih baik. Apalagi Singapore, tetangga yang tergolong salah satu negara paling bersih dari korupsi di dunia bersama beberapa negara Skandinavia.

Padahal dulu Presiden SBY berjanji di hadapan rakyat bahwa dia akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. Sampai sekarang janji itu belum juga dipenuhi. Bahkan SBY sendiri tampaknya sudah melupakan janji yang ia ucapkan sendiri di hadapan rakyat itu.

Tapi begitulah SBY. Suatu kali dia bicara secara terbuka agar para Menteri fokus bekerja untuk rakyat, jangan hanya sibuk mengurusi partai menjelang pemilihan umum ini. Tapi kemarin, 30 Maret 2013, seluruh rakyat bisa menyaksikan sendiri betapa Presiden SBY bersedia diangkat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum, melalui Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Bali, 30-31 Maret 2013.

Dengan itu seluruh jabatan penting partai itu sekarang berada di tangannya: Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan, dan kini Ketua Umum. Yang pasti, kita akan menyaksikan betapa jabatan Presiden dan Ketua Umum Partai Demokrat sulit dibedakan di tangan SBY.

Juga fasilitas jabatan Presiden yang dibiayai rakyat akan berhimpitan dengan fasilitas Ketua Umum Partai. Begitu pula 2 menteri yang diangkat SBY menjadi Pengurus Harian Partai Demokrat. Rupanya terlalu besar harapan para pengurus daerah partai itu bahwa perolehan suara dalam Pemilu 2014 akan meningkat bila SBY dan para menterinya memimpin partai itu. Padahal satu hal yang pasti di hadapan rakyat: ucapan dan tindakan Presiden SBY sebagai pemimpin saling bertolak belakang.

Omong Kosong Pemberantasan Korupsi

Para pemimpin Partai Demokrat lupa bahwa partai mereka dan SBY amat populer dalam Pemilu 2009 karena isu korupsi. Ketika itu rakyat percaya bahwa SBY dan partai yang dipimpinnya akan membersihkan korupsi dari bumi Indonesia. Soalnya, pada waktu itu SBY selalu bicara bahwa ia akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.

Kemudian partai itu pun muncul dalam iklan gencar yang bertema pemberantasan korupsi. Anda tentu masih ingat, yang ditampilkan sebagai bintang iklan ketika itu adalah Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum.

Sekarang rakyat sudah tahu janji Presiden SBY untuk memberantas korupsi itu adalah omong kosong belaka. Untuk itu SBY harus bertanggungjawab. Lalu, iklan anti-korupsi itu kini justru menjadi serangan balik untuk Partai Demokrat.

Betapa tidak? Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat dan anggota DPR, yang di dalam iklan berteriak-teriak bilang ‘’tidak’’ pada korupsi, sekarang berada dalam penjara justru karena terlibat korupsi. Sedang Anas Urbaningrum, bintang iklan lainnya dan Ketua Umum Partai Demokrat, kini sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang oleh KPK. Anas kemudian membongkar bahwa sebagian dana Hambalang juga mengalir ke putra SBY, Ibas dan beberapa tokoh lainnya.

Bagaimana mungkin rakyat bisa berharap Presiden SBY akan memimpin sendiri pemberantasn korupsi di Indonesia, kalau kasus korupsi Bank Century mulai menyenggol namanya? Kasus Bank Century tak kepalang tanggung, telah merugikan negara Rp 6,7 trilyun.

Ketika peristiwa itu terjadi, Wakil Presiden Budiono menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). Melalui perkenannyalah, antara lain, rupiah mengalir sampai trilyunan rupiah dari BI yang dipimpinnya ke bank kecil dan sakit itu. Dari sana dana itu bocor ke mana-mana. Antara lain, disebutkan untuk kampanye Pemilu 2009.

Yang pasti, dalam Pemilu lalu secara mencengangkan SBY menunjuk Budiono sebagai calon Wakil Presiden. Padahal sebelumnya tak ada yang meramalkan jabatan itu akan diberikan kepada Budiono, seorang birokrat bank yang tak terkenal dan belum pernah berpengalaman dalam politik.

Yang pasti dalam Pemilu 2014 mendatang, SBY dengan segerobak jabatannya di Partai Demokrat tak akan bisa lagi menggunakan isu anti-korupsi. Malah sebaliknya, dari sekarang SBY dan para pengurus inti partainya harus bersiap-siap untuk menjelaskan isu korupsi yang mewabah di Indonesia di bawah pemerintahan yang dipimpinnya. Dan itu tak gampang.

Banyak pendapat mengatakan karena isu korupsi yang melanda partai itu, dalam berbagai survei elektabilitas Partai Demokrat anjlok tinggal 7 atau 8 persen saja. Padahal dalam Pemilu 2009, partai ini beroleh suara hampir 21 persen.

Apalagi sikap Presiden SBY yang peragu menyebabkan berbagai masalah sulit diatasi. Misalnya, soal hubungan polisi dan militer yang belakangan tambah merepotkan.

Masalah pokoknya, selama 32 tahun Orde Baru, institusi kepolisian dan militer berada dalam satu atap dipimpin seorang Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata). Ketika itu, kepolisian digolongkan angkatan bersenjata.

Setelah reformasi 1998 (gerakan yang dibiayai pemerintah Amerika Serikat melalui US-AID), polisi berdiri sendiri terpisah dari TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tapi sekarang hubungan kedua institusi itu menjadi rawan. Tampaknya besar kecemburuan militer pada polisi yang sekarang sangat berkuasa (dan karenanya menguasai sumber dana).

Maka 7 Maret malam yang lalu, puluhan tentara berseragam menyerbu kantor Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Mereka membakar kantor Polres serta menyerang anggota polisi yang berjaga. Peristiwa ini disebabkan ketidak-puasan anggota militer atas peristiwa sebelumnya: teman mereka ditembak seorang polisi lalu lintas.

Tapi lebih mengerikan lagi peristiwa yang terjadi 23 Maret dinihari yang lalu, ketika sekitar 17 pasukan bersenjata menyerbu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Mereka melukai beberapa petugas Lapas, lalu masuk mencari 4 tahanan yang terlibat pengeroyokan Sersan Satu Santoso, anggota kesatuan militer di sana. Pengeroyokan itu terjadi di Hugo’s Café, Yogyakarta.

Setelah menemukannya, pasukan ini menghabisi 4 tahanan dengan senjata api yang mereka bawa. Luar biasa. Peristiwa seperti adegan film laga ini tampaknya baru pernah terjadi hanya di Indonesia.

Dan seperti biasa, karena bukan kisah sukses, maka Presiden SBY sedikitkan tak mengomentari peristiwa yang sangat memalukan ini. Tapi begitulah, peristiwa seperti ini tampaknya akan terus terjadi di bawah seorang pemimpin yang peragu.